Categories

Jumat, 29 Januari 2016

Bundaran HI




Foto: Riman Saputra N

Lamoda








Foto: Riman Saputra N

Gunung Papandayan


EKSOTISME PAPANDAYAN



Bukit dan tebing-tebing memesona, trek berbatu dan sungai kecil nan menantang, serta tebaran indah Edelweiss di hutan mati menuju puncak. Pesona tiada tara yang ditawarkan Gunung Papandayan.

Papandayan merupakan salah satu gunung berapi aktif di Indonesia. Terletak di wilayah Kecamatan Cisurupan, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Papandayan yang berketinggian 2.665 meter di atas permukaan laut (dpl) juga banyak menjadi objek kunjungan wisatawan maupun kalangan pencinta alam.

Matahari belum begitu tinggi. Jarum jam menunjukkan bilangan enam. Udara pagi nan sejuk mengiringi langkah kaki meninggalkan Alun-alun Garut menuju arah Bayongbong. Dari daerah ini, di kejauhan menatap bisa menatap bekas letusan besar Gunung Papandayan, tempat yang saya tuju.

Tak lama berselang, roda-roda mobil menggerus jalanan wilayah Cisurupan. Artinya, perjalanan ke tujuan sudah dekat. Meskipun saat berpapasan di perjalanan beberapa pengemudi mobil pikap (pickup) mengatakan mobil saya tidak cukup kuat dipakai mendaki, justru membuat saya kian penasaran. Jalanan membentang di hadapan toh masih bagus, saya terus melaju. Hingga, mau tak mau, saya harus berhenti kala di depan mata membentang jalanan yang terbilang rusak parah. Rasanya mustahil mobil mampu melewatinya.

Datanglah ojek menawarkan jasa mengantarkan saya hingga areal parkir Papandayan. Usai tawar-menawar ongkos, saya sepakat dibonceng motor ke parkiran itu. Mobil saya titipkan di pekarangan rumah warga.

Memang benar kata orang-orang yang saya temui di perjalanan. Jalan menuju Papandayan rusak parah. Ngeri juga rasanya naik motor di jalanan berlubang-lubang bagai rumah ikan mujair di tambak. Tidak sampai 30 menit perjalanan dengan ojek, kaki saya pun menjejak areal parkir pengunjung gunung yang pernah meletus pada 1773, 1923, 1942, 1993, dan 2003 itu.

Kerusakan parah jalanan menuju pintu gerbang Gunung Papandayan ternyata tidak menyurutkan kehadiran pengunjung. Selain yang sekadar ingin menghirup segar udara pegunungan, cukup banyak pula yang datang untuk berkemah. Warung-warung berjejer, bisa jadi tempat sekadar ngopi maupun sarapan.


KAWAH PAPANDAYAN

Sekitar pukul 07.30, saya mulai mendaki. Sinar matahari membuat langit biru kian benderang. Kondisi cuaca yang begitu bersahabat ini memungkinkan saya bisa menikmati secara gamblang keindahan Papandayan sejak dari kejauhan.

Jalanan berbatu mengawali tantangan pendakian menuju kawah. Hanya beberapa meter, kepulan asap tinggi dari kawah gunung juga sudah terlihat. Juga sungai kecil mengandung belerang yang mengalir di areal gunung ini, yang diyakini kemujarabannya oleh warga untuk mengobati penyakit kulit.

Saya terus meniti trek berbatu itu hingga kawah Gunung Papandayan. Tak begitu banyak memakan waktu sebenarnya, sekitar 30-60 menit, tergantung seberapa besar ‘’nafsu’’ kita untuk mencapainya. Cukup luas areal di kawasan ini. Asap yang menyebar di beberapa titik juga cukup tebal.

Di lokasi itu, beragam suara unik menerobos lubang-lubang telinga. Sempat saya bertanya-tanya, suara apakah gerangan? Ternyata, suara-suara unik itu berasal dari gas dan asap yang keluar dari lubang-lubang magma berukuran kecil maupun besar.

Di trek berbatu yang menuntut perjuangan berat untuk bisa dilalui dengan berjalan kaki ini, kekaguman saya tertuju pula ke beberapa pengendara motor yang begitu piawai menaklukkannya.


BUNGA EDELWEISS

Mencapai kawah sudah terpenuhi. Fokus berikutnya adalah mencari lokasi tumbuh bunga Edelweiss (Leontopodium alpinum). Saya mendaki lagi, tetapi hingga atas pun tidak mendapatinya. Saya bertanya kepada beberapa orang yang sedang hiking. Mereka bilang lokasi Edelweiss tumbuh masih jauh, tepatnya di bukit seberang kawah. Untuk mencapainya dibutuhkan waktu sekitar dua jam.

Saya harus turun menyusuri jalan setapak nan sempit, laksana menyisir jalan masuk hutan. Bukan lagi bebatuan, tetapi jalanan tanah. Waswas terpeleset, saya harus ekstrahati-hati.

Di dasar bukit saya temui sungai kecil mengalir berair begitu dingin. Sungai ini harus saya seberangi untuk bisa mendaki bukit berikutnya. Baru saya sadari perjalanan yang saya tempuh sudah begitu jauh. Kawah yang semula begitu besar sudah terlihat kecil.

Kembali saya bertanya kepada orang-orang yang saya temui di perjalanan. Kata mereka, bunga Edelweiss bisa dilihat di hutan mati. Di manakah itu? Mereka menunjuk arah puncak Papandayan.

Saya berjalan lagi hingga tiba di pos untuk camping. Di sana terbentang penunjuk jalan bertulisan ‘’Pondok Salada’’. Setelah sejenak menata napas dan mengencangkan urat kaki, saya bergerak lagi ke arah Pondok Salada.

Dalam perjalanan, dari kejauhan saya menatap sebuah air terjun yang begitu eksotis. Dari air terjun itu, airnya mengaliri sungai kecil yang saya lalui di perjalanan sebelumnya. Setelah sekitar 30 menit perjalanan, saya pun tiba di Pondok Salada. Di tempat lapang ini banyak pengunjung telah memancang tenda. Mulai dari areal ini pula sudah bisa dilihat bunga Edelweiss tumbuh dan semakin banyak dijumpai dalam perjalanan menuju hutan mati.


HUTAN MATI

Terdapat dua jalan menuju hutan mati. Pertama, melewati rawa yang kedalamannya tidak bisa dipastikan. Kedua, lewat jalan agak memutar masuk hutan. Dari dua opsi itu, saya memilih yang kedua, yaitu memutar masuk hutan dengan melewati hanya lumpur dan parit kecil menuju jalanan setapak kering. Tak lama, cuma sekitar 10 menit saya sudah mencapai hutan mati.

Kiranya wajar sebutan hutan mati itu muncul. Semua pohon yang menancapi areal cukup luas ini mati. Di areal ini pengunjung juga dituntut pintar mengingat-ingat arah. Begitu masuk lebih dalam, apalagi ke tengah, bisa-bisa kebingungan mencari arah jalan kembali. Bisa jadi butuh berjam-jam untuk mampu keluar dari kawah dan kembali ke lokasi berkemah.

Saat masih di hutan mati, cuaca berubah mendadak teduh. Kabut kian tebal. Jarak ke puncak Papandayan kian dekat. Ingin rasanya mencapai peak itu. Namun, karena cuaca kurang mendukung saya memutuskan kembali turun, berjalan lagi hingga hampir tiga jam untuk tiba lagi di areal parkir.

Dalam perjalanan turun, terasa ada ‘’utang’’ yang suatu hari nanti ingin saya bayar, yaitu berkemah di Pondok Salada. Rasanya bakal lebih puas menikmati keindahan Papandayan bila berkemah di sana.









TEKS & FOTO: RIMAN SAPUTRA N


Osaka Maru








Foto: Riman Saputra N