Categories

Senin, 31 Agustus 2015

Two Cents Coffeeshop

MENGGARAP KOPI LEBIH SERIUS

Hujan rintik-rintik yang membasahi kota Bandung sangat pas bila diisi dengan menengguk secangkir kopi hangat. Mengingat pesatnya industri kopi di Indonesia, membuat saya sedikit berharap dapatkan sebuah coffeeshop dengan kopi yang sedikit serius di Kota Kembang ini. Pilihan jatuh pada Two Cents Coffeeshop yang berlokasi di kawasan Jalan Riau.
Dari luar layaknya coffeeshop yang banyak beredar saat ini. Konsep yang kuat ditunjang dengan atmosfir yang hangat. Pun begitu kala memasuki coffeeshop-nya, akses internet yang cepat dengan pencahayaan terang, lazimnya coffeeshop pada umumnya. Namun yang berbeda adalah penempatan beberapa karung kopi dan etalase pemisah antar ruang yang diisi oleh barang antik yang mengesankan suasana industrial zaman dulu.
Konsep boleh menonjol dan tampil beda, namun sekali lagi, orang datang ke sebuah coffeeshop untuk secangkir kopi nikmat. Apalah arti kemasan konsep namun mengesampingkan rasa, dan cara awal saya menilai serius atau tidaknya sebuah coffeeshop adalah dengan menanyakan dari mana dan bagaimana karakter rasa kopi tersebut. Dasar berpikirnya sangat sederhana, kopi beragam karakter dan barista harus paham dengan keunggulan karakternya. Tanpa pemahaman mendalam, mustahil rasa yang dihasilkan bisa maksimal.
Pertanyaan saya tertuju pada Bagus Firman, Supervisor Two Cents Coffeeshop. Ia menjelaskan cukup rinci tentang kopi yang digunakan. “Two Cents menggunakan semua kopi dari Jawa Barat, seperti Garut, Ciwidey dan Pengalengan. Kami mendapatkan dari petani langsung dan juga memiliki roaster khusus untuk semua biji kopi ini,”  jelas Bagus.
Penjelasan singkat dari Bagus, sudah cukup menjelaskan tentang bagaimana kesegaran biji kopi yang digunakan. Secangkir espresso langsung saya pesan untuk membuka ritual minum kopi disini. Menyusul kemudian cappucinno panas. Di tangan barista handal, baik itu espresso maupun cappuccino terasa maksimal baik itu dari rasa, aroma hingga after taste-nya.

Puas menikmati aneka varian espresso base, rasa penasaran meninggi hingga ke semua lini produk Two Cents. Saya memilih Cafe Cinnamon Mapletini yang menggunakan kopi dengan teknik cold brew sebagai dasarnya. Cold Brew yang menggunakan kopi robusta dicampur sirup maple kemudian disempurnakan dengan pemberian cinnamon sugar di “bibir” gelasnya. Rasanya menarik dengan manis yang sedikit dominan.
Tidak hanya di kopi, saya akhirnya memesan satu menu makanan yang menjadi favorit yakni, Truffle Croque Madame. Menggunakan roti ciabatta, isiannya menggunakan grilled ham dan diberi topping cheese sandwich, gooey cheese, dan truffle oil kemudian ditutup dengan telur mata sapi. Kombinasinya cukup untuk menghilangkan rasa lapar dengan rasa gurih dan renyahnya roti yang digunakan.
Two Cents Coffeeshop adalah bukti, dengan kopi lokal Jawa Barat dan barista yang handal mampu memberi kualitas rasa yang mantap.

Two Cents
Jl. Cimanuk 2
Bandung




Teks: Dody Wiraseto, Foto: Riman Saputra

Baywalk

AIR BERJOGET DI BAYWALK

Alunan musik mulai terdengar. Deretan air mancur pun menampakkan pesonanya mengikuti iringan musik. Pemandangan cantik ini semakin lengkap dengan warna-warni lampu yang berpadu dengan air mancur.

Mendengar kata mall pastilah akan merujuk pada tempat shopping. Namun di Jakarta Utara ada mall yang menawarkan suasana yang berbeda. Baywalk Mall yang berada di kawasan Apartemen Green Bay Pluit memberikan nuansa baru dengan lokasinya yang berada di tepi laut. Mall ini memiliki ruang terbuka ‘The Garden’ seluas tiga hektar dan ‘The Waterfront’. Rasanya seperti berada di kapal pesiar dengan  sensasi pemandangan lautnya.
Saat itu saya sengaja mengunjungi Baywalk karena ada pertunjukan air mancurnya yang berwarna-warni. Atraksi ini hanya diadakan pada malam hari di hari libur, Sabtu, dan Minggu. Show pertama dimulai pada pukul enam dan dilakukan setiap jamnya hingga terakhir pada pukul sembilan.

AIR MANCUR

Sebelum jam enam, saya sudah nongkrong di area tempat air mancur. Saat itu sedang ada B.Duck sebagai bintang utamanya dengan ukurannya yang sangat besar. Para pengunjung pun tampak eksis bersama B.Duck maupun dengan hiasan-hiasan lainnya menggunakan handphone maupun kamera. Selain itu ada juga yang ber-narsis ria dengan background laut.
Menjelang pukul enam, pengunjung Baywalk mulai memenuhi tribun tempat duduk yang telah disediakan dan para petugas mulai meng-clear-kan area. Ternyata banyak juga yang memang menantikan pertunjukan ini. Tak lama kemudian, musik pun mulai dimainkan. Dari lubang-lubang kecil yang berjajar beberapa meter mulai mengeluarkan air dibarengi lampu sorot warna-warni yang mengelilingi tiap lubangnya.  Ada sekitar 34 buah lubang yang menjadi tempat menyembutnya air. Air mancur pun mulai menari-nari mengikuti irama lagu. Ada sekitar tiga atau empat lagu yang dimainkan. Sekali pertunjukan ini memakan waktu sekitar lima belas menit.
Namun sayang sekali, menurut saya pertunjukan yang diadakan pukul enam ini kurang maksimal karena langit masih cukup terang. Warna-warna yang ditampilkan pun jadi kurang begitu jelas. Jadi saya pun menunggu pertunjukan selanjutnya pukul tujuh.

WARNA-WARNI DI MALAM HARI
Hari pun semakin gelap. Cahaya-cahaya lampu terlihat semakin terang dan cantik dengan warna-warna cerah. Pengunjung pun sudah mulai kembali memadati tribun penonton. Area sudah di-clear-kan kembali oleh para petugas. Para penonton pun sudah menyiapkan kamera dan smartphone mereka untuk mengabadikan pertunjukan air mancur. Anak-anak dan orang tua pun tampak antusias menantikan air mancur yang ‘berjoget’ ini.
Dan musik pun kembali dimainkan. Air mancur menyembur dibarengi lampu sorot warna-warni. Sambil diiringi lantunan musik, air mancur ini menari-nari dengan indahnya. Kadang menyembur sama tinggi, kadang hanya sebagian saja yang menyembur, kadang tingginya berbeda-beda, tergantung tempo musik yang dimainkan.
Walaupun musik yang dimainkan sama persis dengan yang diputar di pertunjukan pukul enam tadi, namun suasananya begitu berbeda. Gelapnya langit malam membuat pancaran warna lampu sorot yang mengenai air mancur begitu nyata. Merah, kuning, hijau, dan ungu saling bergantian memeriahkan pertunjukan ini.
Keindahan ini membuat para pengunjung kembali bergegas mengeluarkan handphone maupun kamera untuk meng-capture moment ini. Banyak juga yang segera berpose di depan air mancur untuk berfoto. Kecantikan air mancur ini semakin lengkap dengan hiasan lain yang disertai lampu-lampu yang gemerlap serta hembusan angin tepi pantai.






Teks & Foto: Riman Saputra N

Lemongrass

KENIKMATAN MODERN KLASIK

Paduan menu tradisional kopitiam yang kaya rasa dan beragam menu dim sum dikemas dalam kesatuan resto modern. Selain itu, suasana yang begitu homey layaknya rumah nenek dengan sajian alam di halamannya, menjadikan Lemongrass sebagai destinasi kuliner yang wajib dikunjungi di Kota Bogor.
Interior yang begitu menawan menjadi salah satu alasan saya mengunjungi Lemongrass, resto pertama di Bogor yang mengusung konsep “modern kopitiam and resto”. Dari luar, resto yang resmi dibuka pada 9 Februari 2015 ini sudah memperlihatkan keunikannya, ditambah jalan masuk seperti lorong nan cantik bernuansa alam. Saat memasuki area resto yang luasnya mencapai lebih dari 1000 meter persegi, waitress pun menyambut saya dengan ramah. Terlihat juga dua sisi menarik yang ditawarkan Lemongrass, suasana hangatnya ruangan klasik layaknya rumah nenek dan segarnya udara outdoor dengan hijaunya tanaman di sekitarnya.
Resto ini dipadati pengunjung dengan beragam usia, mulai dari remaja hingga keluarga. Bagian indoor didominasi keluarga dan orang tua, sedangkan area outdoor didominasi remaja. Untuk menikmati santapan di Lemongrass ini, saya memilih tempat di lantai dua, salah satu spot yang bisa dibilang dapat merasakan suasana indoor maupun outdoor-nya.
Sambil menanti datangnya pesanan, saya pun berkeliling sejenak. Tepat di samping saya terlihat lukisan burung yang begitu menawan. Selain itu ada juga tiga sangkar burung berisi lampu-lampu cantik menggantung dengan indahnya. Paduan nuansa kopitiam, klasik, rumah nenek, dan modern benar-benar tersaji di Lemongrass. Suasana yang membuat saya betah untuk berlama-lama disini. Rooftop-nya pun tak kalah menarik dengan bagian dalam, pemandangan pegunungan yang memesona dengan hijaunya dedaunan tersaji disini.
Di bawah, sajian open kitchen tampak begitu menarik dengan dekorasi cantik lengkap dengan ornamen-ornamennya seperti keranjang hingga buah-buahan. Saya bisa melihat proses pembuatan makanan secara langsung. Bersebelahan dengan itu, ada backyard layaknya kebun yang memberikan suasana fresh.
Tak lama kemudian, Lumpia Udang Kulit Tahu dan Dim Sum Hakau tersaji membuka santap saya di resto yang buka pada pukul 10.00-22.00 setiap harinya ini. Kulit tahu yang membalut lumpia terasa begitu renyah dan semakin nikmat begitu udangnya tergigit. Sementara itu dim sum yang menjadi salah satu spesial resto ini terasa berbeda karena penyajiannya benar-benar fresh, tidak melalui fozen terlebih dahulu.
Untuk santapan utama, saya mencoba Laksa Singapur dan Nasi Lemak yang juga merupakan salah satu menu favorit di resto yang menggunakan bahan local dalam setiap makanannya ini. Laksa Singapur yang terdiri dari mie, tahu, telur, udang, ayam, scallop, dan toge ini benar-benar terasa gurih di mulut. Sementara itu Nasi Lemak yang terdiri dari nasi, ayam kari, telur, teri, kacang, dan sambal ini akan terasa pas bagi yang memilih nasi untuk santapan utamanya.
Ada satu menu yang unik dan membuat saya pun tertarik untuk mencicipinya, Roti Tissue. Bentuk kerucutnya setinggi kurang lebih 40 cm ini benar-benar membuat penasaran. Saya mencoba Roti Tissue Original yang hanya dilumuri susu kental manis. Selain itu ada juga variasi lain yang menambahkan cokelat dan keju. Cara makannya yang “dipotek” membuatnya akan lebih seru jika dinikmati beramai-ramai. Namun hati-hati jika terkena hembusan angin cukup kencang, Roti Tissue ini bisa roboh. Inilah salah satu menu yang wajib dicoba jika berkunjung ke Lemongrass.
Terakhir, minumannya saya memesan Homemade Watermelon Lemonade dan Jus Kedondong. Rasa yang cukup unik, yakni paduan asam, asin, dan sedikit manis dimiliki Jus Kedondong. Kesegarannya menutup petualangan saya di Lemongrass.
Masih banyak variasi menu makanan dan minuman di Lemongrass, mulai dari menu sarapan hingga makan malam akan memberikan pengalaman kuliner menarik. Sebut saja diantaranya “Lemongrass” Toast, Tuna Mayo, Pangsit Goreng Mayonaise, Chiken Wings, Siomay, Kaki Ayam, Mie Hongkong Style, Kwetiau Penang, Mie Goreng Thailand, Mie Ayam, Nasi Hainam, Nasi Goreng Yang Chow, Ikan Dori Saus “Lemongrass”, Ayam Tumis Kacang Mede, Kangkung Belacan,  Ice Kopi O Hazelnut, Es Chendol, dan masih banyak menu lainnya. Lemongrass juga bisa dibilang sebagai resto ‘whole package’ resto, artinya semua umur bisa menikmati serta merasa nyaman dengan resto ini dari mulai suasana, menu makanan, dan harga yang ramah di kantong.

LEMONGRASS
Jl. Pajajaran 21 Bogor
T: (0251) 8328800









Teks & Foto: Riman Saputra N

Indonesia Fashion Week 2015 - Albert Yanuar


ALGARRY BY ALBERT YANUAR
PADUAN MOTIF PORSELEN TIONGKOK & MEGA MENDUNG

Porselen memang memiliki tampilan yang indah dengan detil ukiran-ukiran nan cantik. Namun dibalik keindahannya, porselen mudah rapuh atau pecah. Berbeda dengan yang ditampilkan Albert Yanuar, motif porselen yang indah tersebut dituangkannya dalam koleksi terbarunya yang anggun, indah, klasi, dan powerful, serta memberi kesan yang tidak hanya cantik pada seorang wanita, tetapi juga berani.
Chinoize menjadi tema yang diangkat Albert Yanuar pada koleksi pre-fall terbarunya dalam ajang Indonesia Fashion Week 2015 dalam rangkaian Fearless in Details. Chinoize sendiri terinspirasi dari kata chinoiserie yang merupakan gaya ornamentasi abad ke-18 di Eropa. Chinoiserie ditandai dengan penggambaran fantastis dari citra Tiongkok dan mengacu pada campuran elemen gaya Timur dan Barat dalam hal dekorasi serta bentuk.
Terinspirasi dari hal tersebut, Albert yanuar lebih menonjolkan pada penggunaan pola yang rumit dan detil pada koleksinya ini. Motif yang lebih luas dipadukan dengan siluet sederhana sehingga lebih menarik di mata kaum hawa. Sebagian besar motif dilukis secara handmade yang kemudian dicetak digital, sehingga nuansa otentik begitu terasa pada setiap busananya. Tidak hanya mengambil motif porselen Tiongkok saja, beberapa motif sengaja dibuat menyerupai Mega Mendung, motif batik khas Cirebon.
“Ada tiga unsur yang saya tampilkan di koleksi ini, yaitu motif porselen Tiongkok, motif Maga Mendung, dan east meet west,” ungkap Albert. Motif Mega Mendung dipilihnya karena mudah dipadukan dengan motif lain. Di matanya, motif ini sesuai dengan nafas desain modernnya.
Dari perpaduan tersebut, lahirlah suguhan koleksi gaun panjang dan cocktail nan elektrik. Paduan motif porselen dan Mega Mendung menciptakan kesan romantic dan feminine. Renda dan bordir cantik tampak menghiasi beberapa gaun koleksi ini yang menjadikannya begitu anggun. Biru royal yang dikombinasikan dengan putih mendominasi warna busana koleksi pre-fall ini. Warna ini merefleksikan porselen dengan nuansa elegan. Pemakaian bahan seperti duchess dan tile dipilih untuk menyempurnakan busana-busana Albert Yanuar kali ini.
Pada koleksi ini juga, Albert menyuguhkan salah satu kekuatan dan ciri khas desainnya yaitu satu potong busana yang dapat berubah fungsi, misalnya rok yang dapat berubah menjadi atasan. Seperti yang ditampilkan Paula Verhoeven saat menutup show dengan moment yang sangat berkesan. Awalnya ia berjalan lembut bak seorang putri berbalutkan tube dress berpotongan A-line yang secara mengejutkan “melepas” bagian rok dan bertransformasi menjadi cape vest. Ia pun kembali berjalan dengan “sayap barunya” menjadi perempuan modern yang penuh percaya diri. Itulah salah satu pesona seorang perempuan modern masa kini.
“Saya sangat puas karena koleksi ini mengakomodasi keidealisan saya sebagai seorang desainer, sekaligus memenuhi kemauan pasar,” tutur Albert.

Teks & Foto: Riman Saputra N

Senin, 04 Mei 2015

Porta Venezia

MENU INTERNASIONAL BERNUANSA ITALIA


Tak perlu lagi jauh-jauh mencari kenikmatan citarasa pizza khas Italia. Kerenyahan pizza bertekstur tipis, dengan topping yang tidak terlalu padat ini pun bisa ditemui di Porta Venezia.

Restoran yang berlokasi di lantai 2 Hotel Arya Duta Semanggi ini sarat akan nuansa Italia. Nama Porta Venezia sendiri diambil dari bahasa Italia, yang memiliki makna, gerbang menuju Venezia. Di pintu masuk, tamu langsung disambut  dua buah patung yang memegang lampu. Suasananya semakin kuat dengan atap yang dilukis nuansa Italia yang kental.
Suasana semakin hangat kala melangkahkan kaki lebih dalam. Tata letak meja dan kursi membuat tamu bebas memilih maksud dan tujuan datang ke restoran ini. Bila beranjak ke sisi kanan, jejeran meja dan kursi didesain untuk empat hingga enam orang. Ditambah penempatan bar untuk suasana yang lebih santai. Di sisi kiri, suasana lebih pribadi dengan penempatan sofa kecil diterangi remangnya lampu klasik. Bila ingin menjadikan restoran ini sebagai tempat meeting, di ujung restoran pun terdapat private room berkapasitas 12 orang.
Yang menarik perhatian adalah keberadaan oven tungku tradisional untuk memanggang pizza di restoran ini. Walaupun mengusung konsep International Casual Dining, keberadaan oven tungku tradisional ini menegaskan bahwa Porta Venezia tetap berusaha memberikan karakter pizza Italia otentik ke tamunya.
Untuk itu, pizza adalah pilihan pertama kala daftar menu disajikan oleh pelayan yang ramah. Pizza Margherita menjadi pilihan utama. Pizza legendaris Italia ini terasa sangat klasik. Aroma khas oven tungku mewarnai renyahnya potong demi potong pizza yang hanya diberi topping saus tomat, irisan tomat segar, daun basil dan taburan keju mozzarella ini.

Sesuai dengan konsep menunya, tidak hanya menu Italia yang disajikan disini, menu Indonesia pun menjadi primadona bagi sebagian tamu. Menu sop buntut adalah sebuah citra kuliner Indonesia yang kuat disajikan dengan rasa yang otentik di Porta Venezia. Gurihnya sup yang meruap menambah nikmat buntut yang diolah hingga lembut. Untuk menambah rasa segar, acar menjadi pendamping yang serasi.
Mewakili menu western di Porta Venezia adalah Australian Beef Sirloin. Menu ini disajikan dalam sebuah hot stone, sehingga saya bebas memilih sendiri tingkat kematangan yang diinginkan. Menikmati menu ini memberikan kesenangan tersendiri, serasa sedang menjadi seorang chef ketika membolak-balik daging hingga matang. Sebagai paduannya, demiglace sauce dan barbeque sauce melengkapi citarasa menu ini.
Ditengah balutan nuansa Italia, menikmati aneka hidangan dari berbagai dunia membuat apa yang disajikan Porta Venezia terasa lengkap. Konsep restoran kuat ditunjang dengan aneka pilihan menu yang akan menggugah selera, meninggalkan kesan terasa memikat.

Porta Venezia Restaurant
Hotel Aryaduta Semanggi – Level 2
Jl. Garnisun Dalam no.8, Jakarta 12930







Teks : Dody Wiraseto - Foto: Riman

Tanjung Layar

UJUNG PERTAMA PULAU JAWA



Sepasang tebing karang menyerupai layar perahu menjulang tinggi dekat bibir pantai. Barikade karang, sepanjang sekitar 1 kilometer, berjajar di belakangnya menahan deras laju ombak yang menghampiri. Inilah pemandangan di Tanjung Layar, objek wisata pantai di Desa Sawarna, Provinsi Banten.


Jarum jam menunjukkan pukul sembilan malam. Dari Ibu Kota, empat buah mobil yang mengangkut saya dan beberapa rekan berjalan beriringan menyusuri rute Jakarta-Sukabumi-Pelabuhan Ratu-Desa Sawarna. Sengaja kami pilih rute ini karena lebih cepat dan kondisi jalannya lebih bagus ketimbang jalur Malimping.

Malam hari jalanan cukup lengang dan lancar. Setelah sekitar empat jam menempuh perjalanan, kami tiba di Pelabuhan Ratu, beristirahat sejenak sambil ngopi. Cukup istirahat, kami melanjutkan sisa perjalanan sekitar 50 km.

Tak lama berselang, jalanan di hadapan kami pun menyempit. Track-nya cukup mengerikan. Tanjakan dan turunan curam menyatu dengan kelokan-kelokan cukup tajam. Usai tanjakan, sekelebat pandangan mata jalanan tampak hilang karena begitu cepat disambut turunan berkelok. Tentu harus ekstrahati-hati melewati jalanan ini.

Setelah lebih kurang dua jam menguji nyali di jalanan menantang, tibalah kami di Desa Wisata Sawarna. Jembatan kayu sepanjang 10-15 meter menjadi penyapa awal begitu memasuki kawasan ini. Jembatan itu bergoyang-goyang kala kami menjejaknya. Tandas melintasinya, ternyata saya masih merasakan goyangan itu. Kawan-kawan idem ditto begitu saya tanya.

Sekitar 1 km kami berjalan kaki menuju penginapan. Di kiri-kanan sepanjang jalan kecil yang kami lalui berjejer rumah warga yang dijadikan penginapan. Tukang ojek juga banyak lalu lalang di jalanan ini. Sekitar pukul 04.00 pagi, kami tiba di penginapan dan beristirahat.

TEBING BERBENTUK LAYAR

Kala hari mulai benderang, kedua kaki saya ayunkan menuju pantai. Dulu kawasan sekitarnya adalah perkebunan kelapa. Pantai berhamparan pasir putih indah membentang. Karena sebelumnya gagal menikmati sunrise akibat tertutup bukit, saya memutuskan menunggunya di pantai ini.

Jarak penginapan menuju pantai cukup dekat. Ombak cukup besar bergulung-gulung membelai pantai itu. Saya berjalan menyisiri pantai ini menuju spot utamanya, Tanjung Layar, yang menjadi ikon Pantai Sawarna. Banyak juga pengunjung menghabiskan waktu 15-20 menit untuk berjalan menuju tanjung yang dinamai Java’s Eerste Punt (Ujung Pertama Pulau Jawa) semasa kekuasaan Hindia-Belanda ini.

Pemandangan sebuah pohon besar tumbang ke arah pantai sempat menghentikan langkah saya. Di mata saya pohon tumbang ini menawarkan keindahan tersendiri sehingga saya habiskan sebentar waktu menikmatinya.

Tak jauh, sepasang batukarang berbentuk seperti layar perahu menjulang kokoh di pinggir pantai yang agak menjorok ke laut. Batu karang ini merupakan bagian ujung dari tanjung. Di bagian belakang tebing karang tinggi-besar ini barikade karang berjajar hingga lebih kurang 1 km. Deburan ombak laut selatan Jawa terpecah di ujung barikade karang ini, melindungi sepasang tebing karang itu hingga tetap nyaman berdiri kokoh.

Puluhan, bahkan ratusan, pengunjung menyeberang untuk mendekati sepasang tebing karang itu. Airnya tampak tak terlalu dalam, sebatas pinggang atau paling dalam sedada. Cuma harus hati-hati memijak agar tidak terpeleset.

Tepat di bawah tebing karang, banyak pengunjung mengabadikan sepasang tebing karang itu dengan kamera handphone maupun DSLR-nya. Tongsis yang berkilauan banyak terlihat di sekitaran pantai ini. Di tepian pantainya pun pengunjung yang berfoto ria tidak kalah banyak. Karang-karangnya begitu indah, apalagi berpadu dengan hamparan pasir putih.

Siang menjelang. Saatnya beristirahat sembari menikmati kelapa muda di saung pantai. Di sepanjang pantai ini memang banyak orang berjualan, mulai dari minuman hingga pakaian.

Cukup, saatnya kembali ke penginapan sambil menunggu sore. Dalam perjalanan menuju penginapan, saya berpapasan dengan semakin banyak orang berdatangan menuju pantai itu. Hingga tiba di penginapan pun arus orang menuju pantai masih bisa saya saksikan. Saya bisa jelas menyaksikannya karena penginapan saya berada persis di depan gapura bambu menuju pantai.

SUNSET DI TANJUNG LAYAR

Sekitar pukul empat sore, bergegas saya kembali ke Pantai Sawarna. Sejumlah pengunjung tampak asyik bermain bola. Lainnya sibuk berkreasi dengan pasir dan menikmati ombak bergulung-gulung menuju pantai.

Kedua kaki melangkah lagi menuju sepasang tebing karang di pinggir pantai meski, awalnya, saya sempat ragu itu spot tepat untuk menikmati sunset. Keraguan itu mengemuka karena banyak pengunjung berjalan ke arah sebaliknya.

Namun, keraguan itu terjawab kala mencapai sepasang tebing tinggi itu, lantas melihat-lihat sekeliling mencari tempat yang pas untuk melihat surya tenggelam. Sepertinya sepasang tebing tinggi itu tepat. Sambil memegang kamera, saya memberanikan diri menyeberang ke tebing berbentuk layar itu. Butuh waktu cukup lama untuk menyeberang karena harus memilih-milih pijakan agar tidak terjatuh.

Dari dekat, sepasang tebing karang ini tampak lebih indah dan begitu besar. Air di sekitarnya sangat dangkal, hanya beberapa centimeter. Ombak yang datang benar-benar terhalang barikade karang di belakangnya. Ditemani indah siluet sepasang tebing karang yang tinggi, cahaya senja perlahan memudar di ujung cakrawala. Di sini tempat yang saya rasakan benar-benar tepat untuk menikmati Pantai Sawarna.

Setelah matahari benar-benar tenggelam, saya kembali menyeberang menuju pantai bersama para pengunjung lain. Saat malam tiba, kami melewatinya dengan barbeque-an. Dengan arang batu bara, sejumlah ikan kembung dan cumi besar telah disiapkan untuk menemani malam di Sawarna. Tak ketinggalan jagung bakar untuk menghangatkan badan.


JEMBATAN GOYANG

Esoknya, bersama kawan-kawan kembali ke Jakarta. Dalam perjalanan menuju areal parkir, kami bertemu jembatan goyang lagi. Jika saat berangkat jalanan sepi, begitu pun yang melewati jembatan goyang, tidak demikian hari itu. Antrean panjang orang menanti melintasinya sehingga harus diberlakukan sistem buka-tutup layaknya arus mudik-balik Lebaran.

Kami juga harus mengantre. Oh, ternyata yang lewat jembatan ini bukan hanya pejalan kaki, tetapi juga motor. Susah dibayangkan bagaimana rasanya naik motor melintasi jembatan goyang itu. Melihat alasanya dari kayu, sekilas pikiran saya kok mengatakan jembatan itu tidak kuat menahan beban cukup berat. Toh, perkiraan saya keliru.

Akhirnya tiba juga giliran kami. Sulit rasanya berjalan tanpa memegang kawat di pinggir. Meski begitu goyangannya masih mengganggu keseimbangan badan. Efek goyangannya terasa hingga beberapa saat setelah purna melintasinya.

Jembatan goyang itu merupakan satu-satunya akses menuju pantai ujung pertama Pula Jawa. Berkat jembatan itu pula Pantai Sawarna, yang dibincang sebagai hidden paradise, kini semakin banyak dikunjungi wisatawan. Bisa jadi keindahan pantai itu telah cepat menyebar ke berbagai tempat. Sejujurnya, Pantai Sawarna memang bisa menjadi tempat pas menikmati liburan bersama keluarga, sahabat, dan kawan.












Teks & Foto: Riman Saputra N