Categories

Sabtu, 08 November 2014

Kota Tua Jakarta

SEJARAH, SENI, DAN KEBUDAYAAN DALAM SATU HARI
Banyak tempat yang bisa dikunjungi  dengan biaya murah dalam satu hari di kawasan wisata Kota Tua. Tidak hanya menikmati bangunan-bangunan tua saja, banyak ilmu dan wawasan yang bisa didapat di sini. 



Kota Tua yang mendapat julukan ‘Permata Asia’ dan ‘Ratu dari Timur’ pada abad ke-16 dari pelayar Eropa ini berada di seputaran Stasiun Kereta Api Kota dan Halte Busway Kota. Jadi bagi yang ingin naik kereta api atau bus Transjakarta tinggal turun di halte terakhir. Selanjutnya berjalan kaki sedikit menuju kawasan wisata dengan luas lebih dari satu kilometer persegi melintasi Jakarta Barat dan Jakarta Utara. Saya sampai di lapangan Kota Tua sekitar jam sepuluh. Dan perjalanan menyusuri sejarah dan budaya pun dimulai.

MUSEUM SEJARAH JAKARTA

      Muda mudi berpakaian Betawi menyambut di pintu masuk Museum Sejarah Jakarta. Untuk berkeliling di museum yang juga dikenal dengan nama Museum Fatahilah ini hanya dikenakan tiket seharga Rp. 5.000. Di dalam, saya diberikan sandal dan tas untuk menyimpan sepatu.

     Lukisan 10x3 meter ‘Penyerangan Mataram ke Batavia, 1628 & 1629’ karya Sudjojono menjadi pembuka kunjuangan ke museum yang dulunya balai kota. Di sebelahnya ada Maket Gereja Belanda Baru yang ditemani pedang keadilan dan musket.

     Selanjutnya lukisan Gubernur Jenderal Jan Pleterszoon Coen yang membangun gedung ini telah menanti. Di sini juga ada sundial atau jam matahari yang berasal dari abad 19 dengan bahan batu marmer, kuningan, dan gelas pembakar. Selain itu miniatur meja kerja dan kursi juga ada disini. Kemudian patung Adipati Jayakarta III, baju zirah, tombak, hingga mimbar ditampilkan di museum ini. Tidak hanya itu, beberapa replika prasasti batu peninggalan masa Tarumanegara dan Pajajaran mulai dari Prasasti Batu Tulis, Prasati Padrao, Prasasti Cidanghiang, hingga Prasasti Muara Cianten ada di museum yang diresmikan pada 30 Maret 1974.

     Lalu saya naik ke lantai dua tempat keramik-keramik kuno peninggalan Tiongkok dan Eropa seperti botol, mangkok, piring, dan gelas. Selanjutnya saya naik lagi menuju lantai atasnya yang pada masanya digunakan sebagai tempat persidangan. Di lantai ini, mebel-mebel abad 18 dan awal abad 19 yang masih kokoh dan tersusun rapi di setiap ruangannya. Selain itu lukisan yang menggambarkan tiga keputusan pengadilan terpampang di salah satu ruangan lantai ini.

     Merasa cukup berkeliling di lantai ini, saya pun turun lalu mengembalikan tas dan sandal yang diberikan di pintu masuk. Eh ternyata masih ada, di bagian luar tepatnya di bawah ada penjara bawah tanah yang digunakan pada masa penjajahan Belanda. Selain itu terdapat juga patung Dewa Hermes yang menurut mitologi Yunani merupakan dewa keberuntungan dan perlindungan bagi kaum pedagang.












    

MUSEUM WAYANG


     Setelah mengikuti jejak sejarah Jakarta, selanjutnya ke museum Museum Wayang. Tiket masuk ke museum ini juga sama Rp. 5.000 rupiah. Sebuah lorong dengan lampu kekuningan menjadi awalnya. Beberapa wayang golek berukuran hampir sebesar manusia berdiri di lorong ini.  

     Di tengah gedung lantai dasar terdapat taman yang berisi beberapa prasasti peninggalan Belanda, salah satunya Jan Pieterszoon Coen tahun 1634. Selanjutnya ada juga boneka si Unyil lengkap dengan teman-temannya. Masih di lantai dasar gedung yang dulunya gereja Belanda ini ada wayang-wayang tokoh Belanda, si Jampang, hingga si Manis jembatan Ancol.

     Selanjutnya saya naik ke lantai dua. Berbagai jenis dan bentuk wayang dari seluruh Indonesia, mulai dari wayang kulit, wayang golek, wayang kardus, wayang rumput, wayang janur, wayang beber, topeng, boneka, dan perangkat gamelan yang lengkap melengkapi ruangan-ruangan museum ini. Tidak hanya wayang dari Indonesia saja yang ada di sini. Wayang dan boneka dari Tiongkok, Thailand, Suriname, Vietnam, India, dan beberapa negara Eropa ikut memperkaya museum ini.







MUSEUM SENI RUPA DAN KERAMIK
     Sekarang lanjut lagi ke sebelah kanan  Museum Sejarah Jakarta, ada Museum Seni Rupa dan Keramik. Tiket masuknya pun sama, Rp. 5.000. Gedung yang awalnya digunakan sebagai Kantor Dewan Kehakiman pada Benteng Batavia ini menampilkan keramik lokal dari berbagai daerah di Indonesia mulai era Kerajaan Majapahit abad ke-14 dan juga dari berbagai negara di dunia seperti Tiongkok, Thailand, Vietnam, dan Eropa dari abad ke-16 hingga awal abad ke-20.

     Untuk koleksi seni lukis Indonesia, museum ini membaginya menjadi beberapa ruangan berdasarkan periodisasi, mulai dari Ruang Masa Raden Saleh (18880-1890), Masa Hindia Jelita (1920-an), hingga Seni Rupa Baru Indonesia (1960-sekarang). Sementara koleksi seni rupa-nya menampilkan patung-patung seperti Totem Asmat dan patung dari berbagai daerah lainnya. Seusai menikmati karya-karya seni yang cantik, saya pun memutuskan untuk memasuki satu museum lagi.

MUSEUM BANK INDONESIA

     Gedung dengan paduan bangunan klasik dan modern menjadi tujuan terakhir saya. Ketika memasuki Museum Bank Indonesia, suasana modern begitu terasa. Tiket masuknya pun gratis. Lorong gelap dengan teater mini menjadi pintu masuk untuk menjelajahi museum ini. Setelah itu ada ruang yang menceritakan aktivitas perdagangan sejak bangsa Eropa mendarat di Nusantara. Rempah-rempah, miniatur perahu kayu, lukisan-lukisan para penjelajah dunia yang pernah singgah, hingga peralatan seperti kompas dan teropong klasik bisa dilihat di ruangan ini.

     Sejarah perkembangan Bank Indonesia dan berbagai peranannya dalam perekonomian pun ditampilkan dengan cantik. Tidak bosan rasanya mengikuti alur perjalanan ini. Selain itu, diorama-diorama 3 dimensi di sepanjang lorong membuat kunjungan ke museum ini lebih menarik. Ditambah lagi penggunaan teknologi multimedia, panel statistik, dan display elektronik membuat saya semakin terkesan akan apa yang ditampilkan.

     Selesai di lantai ini, saya diarahkan menuju gedung sampingnya. Di sini batangan emas yang tersusun rapi membuat mata tidak bisa berkedip. Selanjutnya ruang numismatic yang luas menampilkan ribuan uang sejak zaman dahulu. Andai saja waktu yang tersisa masih banyak, rasanya belum mau meninggalkan museum ini.

     Waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore dan saya pun harus mengakhiri kunjungan ke museum hari ini. Benar-benar wisata murah, hanya menghabiskan 15 ribu rupiah saja, saya bisa mendapat ilmu yang banyak dalam satu hari, mulai dari sejarah Jakarta, macam-macam wayang, seni, dan sejarah Bank Indonesia.









Teks & Foto: Riman Saputra N


Candi Prambanan

WARISAN AGUNG PERADABAN HINDU

Lima meter lebih tinggi ketimbang Candi Borobudur, Prambanan merupakan candi mahakarya warisan kebudayaan Hindu di tanah Jawa. Berdiri sangat kokoh dan aggun merepresentasi keagungan peradabannya.



     Jika Anda kali pertama, bahkan sering ke Yogyakarta namun belum pernah mengunjunginya, cobalah meluangkan waktu. Sepertinya tidak lengkap ke Yogyakarta bila tidak mengunjungi Candi Prambanan.
Kompleks candi Hindu terbesar di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara, itu dibangun sekitar abad ke-9, tepatnya pada masa pemerintahan Rakai Pikatan dan Rakai Balitung. Dikenal juga dengan Candi Roro Jonggrang, letaknya sekitar 17 kilometer dari pusat Kota Yogyakarta.

     Ditetapkan UNESCO sebagai cagar budaya dunia (World Wonder Heritage) pada 1991, menuju Candi Prambanan yang setinggi 47 meter itu bisa ditempuh dengan mobil pribadi maupun angkutan umum. Dari pusat Kota Yogyakarta butuh waktu sekitar satu jam menuju kompleks candi seluas 39,8 hektar.

     Untuk memasuki areal candi yang, menurut legenda, dibangun Bandung Bondowoso guna memenuhi permintaan Roro Jonggrang ini, setiap pengunjung wajib membayar Rp 30 ribu. Sebelum masuk, saya yang bercelana pendek dipinjami kain batik untuk saya pakai. Harap tahu, untuk masuk candi tidak boleh memakai celana atau rok pendek.

     Di areal kompleks candi, terlihat reruntuhan berupa bebatuan besar mengelilinginya. Saat saya berkunjung Kompleks Candi Prambanan masih dalam proses renovasi menyusul kerusakan di beberapa bagian akibat gempa dahsyat yang melanda Yogyakarta pada 2006 silam. Namun, dari kejauhan candi-candi utama tampak tetap berdiri kokoh.

CANDI DAN ARCA

     Terdapat tiga candi utama berukuran lebih besar dibanding candi-candi lainnya. Tiga candi utama itu adalah Candi Wisnu, Brahma, dan Siwa. Ketiganya menggambarkan struktur dan inti kepercayaan dalam Hindu yang disebut Trimurti. Candi-candi pendamping berada di sekitarnya.

     Setelah berjalan menapaki tangga, saya memasuki beberapa candi. Dalam bangunan tertinggi, Candi Siwa, terdapat empat ruangan. Di salah satu ruangan bertengger Arca Durga (istri Siwa) yang disebut-sebut sebagai Arca Roro Jonggrang. Menurut legenda, inilah arca keseribu yang dibuat Bandung Bondowoso dari sosok Roro Jonggrang setelah ia merasa dicurangi perempuan itu.

     Di tiga ruangan lain masing-masing terdapat Arca Siwa, Agastya (guru Siwa), dan Ganesha (putra Siwa). Sayang, saat itu saya berkesempatan melihat hanya Arca Roro Jonggrang karena masih berlangsung pemugaran di tiga ruangan itu.

     Sementara di ruangan Candi Wisnu, terletak di sebelah utara Candi Siwa, terdapat Arca Wisnu. Begitu pun Arca Brahma di ruangan Candi Brahma. Di candi yang lain, seperti dalam Candi Garuda, terdapat arca manusia setengah burung yang dikenal dengan Garuda, arca kerbau bertanduk satu, serta Arca Dewa Candra di dalam Candi Nandi.

RELIEF

     Selain arca, Prambanan juga memiliki relief di dinding candi yang wajib dilihat. Yang paling menarik tentu relief utamanya yang menggambarkan kisah Ramayana. Juga ada relief pohon kalpataru mengapit singa. Dalam Hindu, kalpataru adalah pohon kehidupan, kelestarian, serta keserasian.

     Jika cermat, ada juga relief burung yang tampak nyata dan natural. Menurut para biolog, salah satu burung pada relief tersebut adalah kakatua jambul kuning yang hanya bisa ditemui di Masakambing, pulau di tengah Laut Jawa.

     Di Kompleks Candi Prambanan juga terdapat museum yang menjelaskan seluk-beluk Candi Prambanan. Audio-visual tentang sejarah ditemukannya candi ini hingga proses pemugarannya bisa disaksikan di museum ini.

     Capek dan ingin beristirahat di tengah atau usai berkeliling kompleks, tak usah khawatir. Banyak pedagang penjual menjual makanan dan minuman, bahkan baju, aneka cindermata, hingga bebatuan.
Waktu-waktu tertentu pada malam hari, terdapat pula pementasan Sendratari Ramayana yang menerjemahkan kisah dari relief candi. Lain waktu saya akan menyaksikannya jika kembali ke Candi Prambanan.













Teks & Foto: Riman Saputra

Kota Gudeg

NAIK BECAK KELILING YOGYAKARTA

Kota Yogyakarta atau lebih dikenal dengan Jogja memang menjadi salah satu kota favorit untuk wisata, baik itu wisatawan lokal maupun mancanegara. Budayanya yang begitu kental menjadikan kota ini memiliki daya tarik tersendiri. Tidak hanya budayanya saja yang menjadi daya tarik Jogja, wisata alam hingga wisata sejarah banyak ditemui di ‘Kota Gudeg’ ini.



     Saat itu saya pergi ke Jogja naik kereta api Lodaya Pagi dari Bandung. Kurang lebih 8 jam waktu yang dihabiskan di dalam kereta. Namun suasana yang nyaman serta pemandangan indah menemani di sepanjang jalan membuat waktu tidak terasa. Akhirnya saya tiba di Stasiun Tugu Jogja menjelang sore. Tujuan pertama adalah Tugu Jogja yang letaknya tidak terlalu jauh dari stasiun.

TUGU JOGJA

     Saya berjalan menyusuri Jalan Mangkubumi sekitar 20 menit untuk sampai di landmark Kota Jogja yang paling terkenal. Tugu ini tepatnya berada di tengah perempatan Jalan Mangkubumi, Jalan Jend. Soedirman, Jalan A M Sangaji, dan Jalan Diponegoro. Tugu Jogja yang usianya hampir 3 abad ini menyimpan banyak sejarah dan memendam makna filosofis akan semangat perlawanan atas penjajahan.

     Tugu Jogja ini bisa dibilang ikonnya kota Yogyakarta, saking identiknya banyak mahasiswa perantau yang memeluk dan mencium bangunan ini setelah dinyatakan lulus. Setelah cukup puas memandangi landmark kota ini, saya mencoba naik Trans Yogyakarta menuju kawasan Malioboro, tempat saya menginap.

BECAK

     Keesokan harinya saya mulai menjelajahi Kota Gudeg mulai dari jam 8. Ada dua transportasi yang harus dicoba, becak dan andong. Kedua alat transportasi tradisional ini berjajar di sepanjang Jalan Malioboro. Becak menjadi pilihan saya untuk tur di kota yang sarat akan budaya ini. Tarif yang ditawarkan berkisar  20-30 ribu, tergantung berapa banyak tempat yang akan didatangi.

     Pengayuh becak membawa saya ke Jalan Kadipaten, tempat penjual batik yang legendaris, Batik Tirto Noto. Di seberangnya ada rumah abdi dalem yang juga sudah menjadi salah satu tempat wisata budaya. Di tempat ini kesan tradisional begitu kentara, mulai bentuk bangunan, perabotan, hingga gamelan Jawa. Selain itu disini juga sering diadakan pertunjukkan seni.

TAMAN SARI

     Selanjutnya becak membawa saya ke batik painting Suhardi yang berada di Taman Sari. Karya-karyanya banyak memiliki makna dan mitos. Suhardi mengatakan bahwa karyanya yang paling dicari adalah lukisan kereta kencana yang dipercaya bisa membawa keberuntungan.

     Kemudian saya diajak berjalan menuju Istana Air yang letaknya cukup dekat. Tempat ini lokasinya masih di dalam lingkungan Keraton Ngayogyakarta. Pengaruh Hindu, Budha, Jawa, Islam dan gaya Eropa terlihat di sebagian besar bagunan ini, termasuk pada gerbang masuk utamanya. Gapuranya bergaya asli Jawa dengan stilasi sulur-sulur tanaman, burung, ekor dan sayap burung garuda.

     Airnya begitu jernih ditambah tembok-tembok kecoklatan mengelilinginya. Ada tiga buah kolam yang terlihat disini, yaitu Umbul Kawitan (kolam untuk putra putri raja), Umbul Pamuncar (kolam untuk para selir), dan Umbul Panguras (kolam untuk raja).

KERATON

     Setelah melihat-lihat Istana Air Taman Sari, saya kembali naik becak menuju Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat atau lebih dikenal dengan Keraton Yogyakarta yang lokasinya tidak jauh. Tentunya ini adalah tempat yang paling wajib dikunjungi disini. Bisa dibilang, keraton ini adalah museum hidup kebudayaan Jawa dan sekaligus tempat tinggal Raja Jogja. Saat memasukinya, saya kagum karena ditengah perkembangan zaman, budaya Jawa tetap dilestarikan dan hasilnya menjadi daya tarik wisatawan asing dan lokal.

     Halamannya pun sangat luas dengan banyak ruangan yang bisa dimasuki. Peralatan gamelan khas Jawa berada di awal kunjungan ke keraton. Aktivitas para abdi dalem yang sedang melakukan tugasnya bisa dilihat disini selain koleksi barang-barang keraton mulai dari lukisan, keramik, senjata, pakaian, hingga replika.  Bisa habis seharian untuk bisa mengelilingi kawasan keraton ini. Namun saya hanya menghabiskan sekitar 2 jam saja karena masih banyak tempat yang ingin didatangi.

GEDUNG AGUNG YOGYAKARTA

     Di ujung selatan Jalan Ahmad Yani yang juga masih termasuk kawasan Malioboro terdapat Gedung Agung Yogyakarta atau istana kepresidenan Yogyakarta. Disinilah perjalanan saya naik becak berakhir. Bangunan yang awalnya merupakan rumah kediaman resmi residen ke-18 di Yogyakarta ini merupakan salah satu wisata sejarah di Kota Gudeg. Gedung ini memiliki sejarah penting karena pernah menjadi pusat pemerintahan saat menjadi Ibukota Republik Indonesia. Selain itu,  pelantikan Jendreral Soedirman selaku Panglima Besar Tentara Nasional Indonesia juga dilakukan di gedung ini.

     Setelah melihat istana kepresidenan, saya menyebrang menuju Museum Benteng Vredeburg. Benteng yang dibangun pada 1765 oleh Pemerintah Belanda ini digunakan untuk menahan serangan dari Keraton Yogyakarta. Benteng segi empat dengan menara pengawas di keempat sudutnya ini juga dikelilingi oleh parit.

     Tidak terasa waktu telah lewat dari jam makan siang dan saya pun mencoba tahu penyet di Kedai Angkringan Margomulyo. Tempat dengan nuansa tempo dulu ini berada di seberang Pasar Beringharjo, yang juga berdekatan dengan Gedung Agung Yogyakarta.


MALIOBORO

     Selanjutnya saya berjalan kaki menyusuri Jalan Malioboro yang dalam bahasa Sansekerta berarti karangan bunga. Di sepanjang jalan ini berjajar penjual cenderamata muali dari batik, aksesoris, miniatur kendaraan, hingga lukisan. Saya ikut berdesak-desakan dengan ribuan orang baik itu wisatawan lokal maupun asing. Bisa dibilang disinilah denyut nadi perdagangan dan pusat belanja Yogyakarta.

     Berjalan-jalan di sepanjang Jalan Malioboro memang membuat waktu tidak terasa, hari pun semakin gelap dan saya masih menikmati suasana disini. Anak-anak muda Kota Gudeg yang tergabung dalam sebuah grup melengkapi malam dengan iringan lagu-lagu daerahnya beserta alat musik tradisional. Orang-orang yang berbelanja pun tak ada habisnya, jalanan ini benar-benar dipadati pengunjung.

     Saat malam tiba, kedai-kedai tenda lesehan mulai memadati satu sisi Jalan Malioboro. Saya pun menikmati makan malam di salah satu lesehan tersebut. Menunya tentunya gudeg, karena tidak lengkap ke Yogyakarta kalau tidak mencicipi gudeg.

     Setelah mengisi perut, saya kembali berjalan menuju ujung utara Jalan Malioboro. Di spot bertuliskan Jl. Malioboro terlihat banyak yang sengaja mengabadikan momennya di kota ini. Mereka saling bergantian untuk berfoto. Kemudian saya kembali ke hotel untuk beristirahat.

Rumah Abdi Dalem

Di dalam toko Batik Tirto Noto

Halaman Keraton

Alat musik di Keraton

Bank Indonesia

Benteng Vredeburg

Monumen Serangan Umum Maret

Pasar Beringharjo

Istana Air di Taman Sari

Penjual Batik di Malioboro

Gudeg di Lesehan Malioboro

Goreng burung dara di Lesehan Malioboro


Teks & foto: Riman Saputra N