Categories

Sabtu, 06 September 2014

Pagar Batu


SITUS BATU BERWAJAH MANUSIA

Selain keindahan alamnya, Pulau Samosir, Sumatera Utara juga menyimpan banyak peninggalan peradaban masa lalu. Situs megalitikum Pagar Batu menjadi salah satunya. Di sini terdapat batu berwajah manusia.



Sore hari, kapal mulai merapat ke sebuah dermaga. Terlihat sebuah plang bertuliskan Dermaga Pardomuan Lottung, Kecamatan Simanindo. Saat menginjakkan kaki di dermaga, saya bersama rombongan Kemenparekraf langsung disambut suara gonggongan anjing. Inilah salah satu perkampungan masa lalu di Pulau Samosir yang masih menyimpan situs megalitikum. Saat itu kami dipandu oleh Restauli Situmorang, generasi keempat dari marga Situmorang.
Rumah-rumah penduduk hanya berada di dekat dermaga, selanjutnya saya tidak lagi melihat ada rumah sepanjang perjalanan. Sekitar 15 menit saya menyusuri jalan setapak yang dikelilingi pepohonan rindang dan beberapa batu besar, rasanya seperti masuk hutan. Sesekali deretan batu yang membentuk seperti pagar terlihat dalam perjalanan. Tak lama kemudian, jajaran batu yang tersusun menjadi tangga yang cukup curam sudah menunggu untuk dinaiki. Setelah itu sampailah saya di situs megalitikum Pagar Batu, yang letaknya memang di atas bukit.

Batu-batu besar yang tingginya jauh melebihi manusia tampak di tengah pepohonan yang begitu rindang. Suasana terasa begitu dingin dan teduh. Wajah manusia terlihat begitu jelas di beberapa buah batu. Bakurak menjadi nama batu paling besar yang menjadi tempat disimpannya tengkorak Opputarhua Situmorang. Pada bagian atas batu inilah salah satu bentuk wajah manusia terlihat.
Selain itu, batu-batu lain ada yang berfungsi sebagai tempat penggilingan padi yang di atasnya terdapat tiga bentuk lesung, gua tempat persembunyian, dan ruang persidangan. Nah, ada yang unik di bebatuan persidangan ini. Empat wajah yang begitu jelas muncul di setiap sisi batu.


Menurut Restauli, perkampungan ini sudah ada sejak 1800-an dan saat itu opungnya membangun sebuah perkampungan Batak. Ia juga sempat menjelaskan kalau di dekat pintu masuk terdapat sebuah batu besar bulat dan di dalamnya terlihat seperti bak yang konon dijadikan sebagai tempat pencucian kaki bagi tamu yang masuk. Jika ada yang berniat jahat seperti mencuri atau memperkosa akan ketahuan karena perutnya akan membesar.
Namun sangat disayangkan, saat ini situs Pagar Batu seperti diabaikan. Katanya pada 1970-an beberapa keluarga yang tinggal di sini turun meninggalkan tempat sakral ini karena sulit untuk mendapat air dan susah membawa hasil bumi dari bawah.

Setelah cukup puas berkeliling, kami pun harus segera pulang karena hari mulai gelap. Jalan yang ditempuh berbeda dengan jalan saat berangkat. Saya diperlihatkan ada batu yang sangat besar dengan tinggi hampir 15 meter. Awalnya saya tidak menyadari kalau ada benteng pertahanan di sekeliling kampung. Saking besarnya batu ini, saya pun tidak bisa memotretnya keseluruhan.
Setelah itu saya benar-benar blusukan di hutan. Jalan setapak yang agak sulit dilewati, selain curam, jalannya ini cukup licin. Sesekali memang harus memegangi batang-batang pohon supaya tidak terjatuh. Tapi benar-benar menjadi pengalaman yang menarik. Nah buat pecinta wisata budaya dan yang suka trekking, situs megalitikum Pagar Batu bisa menambahkan daftar destinasi wisata selanjutnya.






Teks & foto: Riman Saputra N

Anne Avantie


25 TAHUN ANNE AVANTIE BERKARYA
MERENDA KASIH





















Foto: Riman Saputra N

Jumat, 05 September 2014

Danau Toba


MENGARUNGI TOBA

Mengarungi Danau Toba nan membentang luas, berpayung langit cerah membiru beriring semilir angin, kenikmatan itu terasa superlengkap oleh panorama deretan hijau perbukitan serta menjadi penyaksi sunset dari tengah danau.




Menyebut Sumatera Utara (Sumut),  hampir pasti tiada lepas dari Danau Toba. Objek wisata yang telah mengglobal ketenarannya ini merupakan andalan pariwisata Provinsi Sumut. Bersama rombongan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), saya mendapatkan kesempatan menikmati langsung eksotisme dana vulkanik sepanjang 100 km dan lebar 30 km yang mengapit Kabupaten Simalungun dan Kabupaten Toba Samosir ini.



Bertolak siang hari dari Parapat, Kapal Motor (KM) Olivia yang telah menunggu langsung mengangkut kami mengarungi Danau Toba. Langit cerah membiru dengan angin berembus sejuk mengiringi perjalanan kami. Tawaran panorama ini menggoda saya memilih duduk di depan KM Olivia, meski saya tidak bisa berenang jika harus tercebur, agar lebih leluasa menikmati keindahan alam sekitar danau.
Rangkaian keramba terlihat di pinggir danau. Sesekali kami berpapasan dengan perahu lain. Bahkan ada yang menyalip, mendahului KM Olivia yang kami tumpangi.



BUKIT BARISAN


Pemandangan kian indah ketika kedua mata saya melintasi hijaunya gugusan bukit di kedua sisi danau yang tertempa cahaya matahari. Rentetan bukit hijau penyejuk mata terus bermunculan di sisi kiri. Bukit yang satu lewat, lainnya telah menunggu. Inilah yang disebut Bukit Barisan. Bukit-bukit yang seperti berbaris itu terus menemani kami selama perjalanan.
Masih ditemani bukit-bukit hijau, langit biru, dan embusan semilir angin, makan siang di atas kapal motor yang mengarungi Danau Toba pun terasa kian nikmat.

AIR TERJUN BINANGALOM


KM Olivia terus menderu, membelah permukaan Danau Toba nan begitu luas. Bukit Barisan juga setia menemani hingga kedua mata saya tertambat ke arah gerojogan air, seperti air terjun, setelah melewati salah satu bukit. Airnya pun langsung jatuh ke Danau Toba.

Benar adanya, gerojogan itu adalah air terjun. Namanya Air Terjun Binangalom. Airnya berasal dari sungai di Desa Binangalom, Kecamatan Lumban Julu, Kabupaten Toba Samosir. Nama air terjun itu diambil dari bahasa Batak, yaitu kata lom atau lum yang berarti ‘’air penyejuk hati’’. Dekat air terjun ini, benar adanya, udara terasa begitu sejuk. Hati pun serasa tenteram.
Karena KM Olivia memutuskan berhenti sejenak, kami bisa leluasa menikmati Air Terjun Binangalom dan berkesempatan mengambil foto. Di areal ini pengunjung diizinkan berenang, namun dilarang terlalu terlalu dekat air terjun mengingat arusnya begitu deras. Di sekitaran tebing dekat air terjun, burung-burung bangau beterbangan mencari ikan untuk dimangsa.
Sayang, untuk mencapai air terjun tersebut hanya bisa ditempuh dengan perahu. Menyewa sebuah kapal pun terbilang lumayan mahal. Mungkin ini yang menyebabkan Air Terjun Binangalom belum begitu banyak bisa dinikmati dari dekat yang, tentu saja, memengaruhi publikasinya oleh khalayak pengunjung.

SUNSET DI TENGAH DANAU


Matahari mulai terbenam. Kami harus kembali ke daratan. Udara terasa makin dingin. Angin berembus cukup kencang. Matahari masih menyinari sebagian bukit dengan cahaya lebih menguning. Amboi, rasanya beruntung saya bisa menikmati golden hour ini di tengah Danau Toba. Hanya beberapa menit saja momen ini berlangsung sebelum cahaya surya itu menghilang.
Langit yang membentuk seperti arus di atas Danau Toba tampak begitu cantik seiring terbenamnya matahari. Nuansa oranye begitu kuat terasa sebelum sirna seturut tenggelamnya sang surya. Benar-benar pemandangan menakjubkan selama mengarungi Danau Toba.





TEKS & FOTO: RIMAN SAPUTRA N

Hyde


PREFERENSI TAMAN YANG ASRI DI HYDE


Transformasi kuliner terutama di kawasan Kemang tak pernah habis dikupas. Seperti sumber mata air yang terus mengalir, kawasan Selatan Jakarta ini terus berevolusi menciptakan tren moderen yang keberadaannya memenuhi halaman di media sosial. Salah satunya adalah Hyde yang berkonsep one stop dining place.

Sebuah resto yang homey ini tampil dengan gaya klasik nan unik. Bangunannya terbilang klasik dengan dominasi dinding berwarna putih. Pemilihan pintu dan jendela yang terbuat dari kaca menimbulkan presentasi rumah kaca dengan pencahayaan alami yang terang. Masuk ke dalam resto yang cukup luas ini, Anda akan disambut oleh bar yang seolah bertindak sebagai penerima tamu.
Di sisi-sisi dinding berhias dekorasi yang tertutup tanaman sekat transparan di dalam tulisan “DAZE” dan “LINGER”, memberikan preferensi taman yang asri. Pemilihan furniture rotan untuk kursi dengan warna pop up ditambah mural di beberapa bagian ruangan, justru memberikan kesan playful.
Soal makanan, jangan ditanya. Hyde punya sederet menu western yang tak luput oleh sentuhan Asia. Seperti menu yang satu ini, namanya Grilled Tiger Shrimp Nantua Sauce. Kentalnya saus nantua yang creamy berpadu serasi bila disandingkan dengan daging udang yang bertekstur lembut. Selain menu nasi, Anda bisa memesan Hawaiian Beef Steak, yaitu daging sirloin steak yang disajikan dengan sayur-sayuran dan mashed potato. Kesegaran yang manis bisa Anda dapatkan dari pineapple salsa yang sukses memberikan keunikan tersendiri pada menu steak ini.
Di kategori dessert, ini dia menu yang menghiasi hampir di setiap media sosial, namanya Chocolate Soil yang hadir di dalam wadah pot mini berwarna-warni. Menu yang satu ini terbilang unik. Didesain sedemikian rupa menyerupai tanaman lengkap dengan tanahnya. Jangan terkejut ketika Anda menemukan “cacing” di dalam pot tersebut. Notabenenya, semua elemen yang ada di dalam Chocolate Soil edible to eat alias bisa dimakan. Salah satu kreasi molecular gastronomy ini menginterpretasi bahan dasar cokelat sebagai pendukungnya. Sementara “si cacing” terbuat dari jelly yang dikreasikan semirip mungkin dengan aslinya.
Menutup perjumpaan dengan Hyde, Anda bisa memesan Blushing Bride. Kombinasinya sarat akan campuran bahan yang sehat, seperti strawberry, apel, pisang, yogurt, tofu, dan madu membuat minuman ini terasa segar diseruput di siang hari. Terlepas dari itu, Hyde menjadi tempat persembunyian yang tepat untuk sekedar hang out bersama teman atau keluarga. Konsep taman dan glass house yang diusung mampu memanjakan mata dan menyegarkan pikiran.








Foto: Riman Saputra N – Teks: Marisa Aryani http://sesameseedeyes.blogspot.com/

Hyde
Jl. Taman Kemang I A No.8, Kemang
Jakarta
021 5610 3888

Situ Patenggang


LEGENDA CINTA SITU PATENGGANG

Banyak pasangan kekasih tiba di Situ Patenggang, danau di kaki Gunung Patuha, Bandung Selatan, yang berudara sejuk dan berpanorama alam nan indah. Mereka berharap cintanya abadi sebagaimana kisah asmara mendalam Ki Santang (Raden Indrajaya) kepada Dewi Rengganis.



Situ Patenggang, salah satu tujuan wisata di Bandung Selatan, berada di bentang Jalan Raya Ciwidey–Rancabali, tepatnya di Desa Patengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Tidak jauh dari Kawah Putih, tinggal menyusuri Jalan Raya Ciwidey ke arah utara sekitar 7 km, sampailah di danau tersebut.

Kata patenggang berasal dari Bahasa Sunda, ‘’pateangan-teangan’’ yang berarti saling mencari. Penamaan ini merujuk pada kisah cinta Ki Santang, keponakan Prabu Siliwangi dari Kerajaan Padjajaran, dan Dewi Rengganis, seorang putri Kerajaan Majapahit yang terpisah akibat Perang Bubat.



Menurut legenda di kalangan masyarakat setempat dan sekitarnya, air danau yang mengalir dari Sungai Cirengganis itu merupakan kumpulan air mata pasangan Ki Santang-Dewi Rengganis. Cinta yang begitu mendalam memaksa mereka saling mencari dalam keterpisahan sebelum akhirnya dipertemukan di sebuah tempat yang hingga kini berjuluk Batu Cinta.

Keduanya menangis haru. Dewi Rengganis lantas meminta Ki Santang membuatkan sebuah danau dan perahu untuk berlayar. Perahu itu kemudian menjelma menjadi sebuah pulau berbentuk hati di tengah Situ Patenggang yang bertahan hingga kini.


SITU  PATENGGANG

Hamparan perkebunan teh, pegunungan, perkebunan stroberi, dan hutan lebat menyejukkan mata saya sepanjang perjalanan menuju Situ Patenggang.  Panorama indah berpadu kenyamanan karena hawa sejuk kawasan ini.


Dari atas mulai terlihat sebuah danau cantik dikelilingi perkebunan teh. Itulah Situ Patenggang. Saya berhenti sejenak menikmati keindahan alam dari atas. Sejuk udara pegunungan berkolaborasi dengan hijau kebun dengan danau di tengahnya menjadikannya lukisan pemandangan indah tiada tepermanai. Saya kira, the best view of Situ Patenggang bisa dinikmati dari atas bukit. Tak salah bila sebelum masuk kawasan wisata Situ Patenggang saya berhenti sejenak menikmatinya.
Cukup puas, saya pun langsung menuju areal Situ Patenggang. Cukup dengan Rp 6 ribu untuk membeli tiket masuk, pengunjung bisa melihat dari dekat luasnya danau ini. Di tengah danau teronggok daratan tidak terlalu luas bernama Pulau Sasuka, tetapi sekarang lebih dikenal sebagai Pulau Asmara. Menurut warga, pulau itu sebenarnya berbentuk hati bila dilihat dari jauh bila cuaca terang. Saya belum bisa memastikan karena saat itu sulit melihatnya gamblang dari ketinggian.

Di pinggir danau, perahu-perahu berjajar siap membawa pengunjung mengarungi perairan danau menuju Pulau Asmara maupun Batu Cinta. Sewa untuk perahu ini berkisar Rp 150 ribu hingga Rp 250 ribu. Lebih enak bila menyewanya beramai-ramai agar lebih murah. Selain itu, pengunjung juga bisa rileks menikmati kecipak dingin air danau dengan mengayuh sendiri perahu angsa berharga sewa Rp 25 ribu hingga Rp 50 ribu.



BATU CINTA

Penasaran pada Batu Cinta, saya menyeberang. Butuh sekitar 10–15 menit untuk sampai di Pulau Asmara. Air danau begitu tenang selama perahu yang saya tumpangi melaju. Hijau pepohonan di sekeliling semakin jelas terlihat. Situ Patenggang merupakan taman wisata cagar alam, sehingga pepohonan khas Jawa Barat masih banyak didapati di sini. Kata pengayuh perahu, suara jenis primata langka Javan surili (Presbytis comata) masih sering terdengar.


Tiada lama berselang, dari kejauhan terlihat sebuah batu besar di depan sebuah pulau kecil. Pulau itu dipenuhi pengunjung. Itulah Pulau Asmara dengan Batu Cinta-nya. Legenda menyatakan batu besar dan tinggi ini adalah saksi bisu besarnya cinta Ki Santang dan Dewi Rengganis.

Banyak pasangan kekasih datang guna mengucapkan janji setia di hadapan Batu Cinta di Situ Patenggang itu. Mereka berharap cintanya abadi seperti cintanya Ki Santang kepada Dewi Rengganis.

Tidak sedikit pula pengunjung bersusah payah menaiki batu cinta, lantas mengabadikannya. Bukan cuma anak-anak, remaja dan orangtua juga antusias menaiki Batu Cinta ini. Mereka bergantian berfoto. Sangat disayangkan banyak pengunjung tidak bertanggung jawab sehingga Batu Cinta itu pun berhias cukup banyak coretan maupun goresan tulisan.

Mitos masyarakat setempat, siapa pun mengelilingi Pulau Asmara hingga melewati Batu Cinta di Situ Patenggang bersama pasangannya, cinta mereka bakal abadi. Yang belum punya pasangan segera mendapatkannya sepulang mengelilingi danau ini. Percaya atau tidak, silahkan membuktikannya sendiri.





TEKS & FOTO: RIMAN SAPUTRA N