Categories

Jumat, 09 Januari 2015

Ketan Bakar Lembang

Menghangatkan Dinginnya Malam

Di salah satu sudut Kota Lembang, Bandung, tepatnya di Pasar Buah Lembang, pedagang berjualan di sisi kiri dan kanan jalan. Penjual-penjual ketan bakar terlihat sedang mengipas-ngipas ketan di atas bara. Asap mengepul membawa aroma gurih dari ketan berbentuk kotak tampak besar dan tebal. Nah, di tengah dinginnya udara Lembang, ketan bakar menjadi teman yang pas pendamping secangkir kopi panas. Saya mampir untuk mencicipi ketan bakar di salah satu penjual.  Pak Jeje sudah berjualan di sini sejak 1986. Potongan-potongan ketan yang dibuatnya sendiri mulai dibakar. Aroma ketan bakar pun mulai tercium di kios yang berjualan dari pagi hingga malam ini. Sudah bisa dibayangkan nikmatnya udara malam Lembang sambil makan ketan bakar selagi hangat.

Ketan yang baru saja dibakar tentunya memiliki tekstur yang agak keras di bagian luarnya. Namun bagian dalamnya begitu lembut dan lengket. Benar-benar terasa legit dan mengenyangkan.

Dalam satu piring kecil ketan bakar ini disajikan dengan dua macam bumbu, yaitu bumbu kacang dan serundeng. Bumbu kacangnya mirip bumbu siomay, namun lebih kental. Serundengnya terasa manis dan sangat nikmat saat disantap bersama ketan bakar.

Selain itu, di sini juga bisa membeli colenak, salah satu makanan khas Jawa Barat. Colenak yang artinya yaitu ‘dicocol enak’ ini intinya adalah peuyeum (tape) yang dibakar. Kemudian  bumbu enten (parutan kelapa yang disiram gula Jawa cair) menyirami peuyeum bakar ini.

Colenak juga sama lebih enak dimakan selagi hangat. Saat digigit rasanya sangat manis, selain peuyeum-nya sudah manis ditambah bumbu enten yang juga manis. Tapi yang pasti, peuyeum khas Bandung memang beda, terasa begitu lembut.

     Tidak perlu merogoh kocek terlalu dalam untuk bisa melengkapi malam di Lembang ditemani satu porsi ketan bakar dan colenak ini, cukup masing-masing 5.000 rupiah.





Teks & Foto: Riman Saputra N

Selasa, 06 Januari 2015

Curug Orok

PESONA DI BALIK KISAH TRAGIS

Curug yang berlokasi persis di belakang Gunung Papandayan menyimpan pemandangan alam yang memukau dibalik kisah tragis akan penamaannya.

Garut memang kaya dengan pesona alamnya, salah satunya adalah Curug Orok yang juga menjadi tujuan saya kali ini.Curug ini merupakan salah satu air terjun yang aksesnya mudah. Saya berangkat dari pusat kota Garut melalui Jalan Raya Bayongbong hingga tiba di Desa Cikandang, Kecamatan Cikajang. Sekitar 35 kilometer jarak yang harus ditempuh untuk bisa sampai kesini.
Kebun teh menjadi salah satu pemandangan yang bisa dinikmati di perjalanan. Nah kalau sudah bertemu kebun teh ini tandanya sudah dekat dengan lokasi curug. Tak lama kemudian papan penunjuk lokasi Curug Orok terlihat di sebelah kiri jalan. Dari sini tinggal sekitar 300 meter lagi untuk tiba di parkiran, tapi jangan lupa harus bayar tiket masuk 10 ribu rupiah per orang.
Sekarang tinggal kaki yang berolahraga untuk menuruni puluhan anak tangga.Suara gemuruh air yang tercurah dari ketinggian sudah terdengar saat saya masih berada di atas.Samar-samar air terjunnya pun dapat terlihat yang tentunya membuat saya semakin semangat untuk menuruni anak-anak tangga. Saat itu hujan turun rintik-rintik yang membuat trek agak licin sehingga harus ekstra hati-hati.

AIR YANG MENYEJUKKAN
Sebelum mencapai dasar, sebuah papan bertuliskan ‘Hirup ku Alloh, Hurip ku Cai’ telah menyambut.Tulisan yang artinya ‘Tuhan yang memberikan hidup, air yang menjadikan hidup makmur’ ini mengingatkan kita untuk melestarikan alam.
Curug Orok berada di sebuah lembah. Semakin dekat terasa semakin dingin namun sejuk ditambah cipratan-cipratan kecil dari air yang jatuh dari ketinggian sekitar 45 meter. Namun dinginnya udara dapat terkalahkan oleh keindahan Curug Orok ini. Beberapa air terjun kecil mengalir dari sela-sela tebing yang mempercantik keindahan air terjun utamanya.
Airnya masih jernih dan menyegarkan ditambah bebatuan besar menjadikannya begitu cantik. Di tepiannya ada beberapa gazebo untuk beristirahat. Tebing sekitarnya tampak menyejukkan mata dengan rimbunnya pepohonan yang tumbuh subur. Keindahan ini bisa membuat mata tak bisa terpejam dan menentramkan hati.

KISAH TRAGIS
Di balik keindahan curug ini ternyata tersimpan kisah yang cukup suram tentang penamaannya. Nama ‘orok’ merupakan bahasa Sunda yang dalam bahasa Indonesia berarti bayi. Konon dulu pernah terjadi peristiwa dimana seorang gadis membuang bayinya dari puncak air terjun pada tahun 1968. Katanya gadis ini hamil sebelum menikah. Setelah ditemukannya bayi alias orok, curug ini akhirnya diberi nama Curug Orok.
Menurut penduduk setempat, dulu tempat ini angker, penuh ririwa atau hantu sehingga jarang sekali orang mau datang ke tempat ini. Kalau malam katanya sering terdengar tangisan bayi. Namun seiring dibukanya areal pertanian dan wisata, kini banyak dikunjungi orang. Tapi nama hanyalah nama, keindahannya sangat bertolak belakang dengan peristiwa tersebut.
Setelah puas menikmati indahnya pemandangan, saya kembali menaiki puluhan anak tangga untuk kembali ke atas. Di atas tersedia juga tempat beristirahat serta warung untuk ngopi-ngopi atau menikmati hangatnya Indomie. Kalau masih ada waktu luang, bisa juga bermain-main dahulu di kebun teh.




Teks & Foto: Riman Saputra N


Wajir Seafood

WAJIR SEAFOOD MEMANG YAHUD
Mau makan seafood di Medan? Wajir Seafood bisa menjadi salah satu alternatifnya. Beralamatkan di Jl. Kolonel Sugiono, Wajir berada di salah satu warung-warung tenda yang berjajar di pinggir jalan. Para penjual makanan disini mulai buka sore hari hingga tengah malam.
Tidak sulit menemukan Wajir Seafood. Dari yang saya lihat, Wajir lah tempat yang paling ramai saat itu. Mobil dan motor berderet parkir di pinggir jalan untuk mencicipi seafood disini. Meja yang disediakan sangat banyak berderet di pelataran ruko yang sudah tutup.
Wajir Seafood menawarkan masakan seafood dengan cita rasa yang tidak kalah dengan masakan restoran. Tidak hanya seafood, Wajir juga menyediakan menu hotplate dan sayuran. Tidak lupa minuman seperti jus yang beraneka ragam juga tersedia disini. Harga yang ditawarkan pun cukup terjangkau mulai dari 20 ribu hingga 30 ribu tiap menunya. Mungkin inilah salah satu alasan mengapa tempat ini selalu ramai setiap malamnya.
Bersama rombongan Kemenparekraf, saya pun mencicipi makan malam di Wajir Seafood. Menu seperti kepiting saus padang, cumi telur asin, ikan steam tiociu, udang goreng telur asin, kangkung balacan seafood, tom yam, hingga belut cabai hijau menjadi santapan kami. Walaupun makanan yang dipesan cukup banyak namun kami tidak menunggu lama.
Kepiting lunak saus telur asin menjadi pembuka santap malam saya. Rasa saus telur asinnya begitu berasa dan berimbang dengan rasa kepitingnya. Sama berimbangnya dengan rasa cumi dan udang goreng telur asin. Tom yam seafood-nya terasa pas di lidah. Sedikit pedas, gurih, dan tidak terlalu kental ditambah potongan jamur kancing, cumi, ikan, udang, bakso plus nasi putih hangat. Rasanya semakin istimewa dengan penggunaan rempah seperti daun sereh, daun jeruk, dan kecombrang.
Menu lain yang perlu dicoba adalah belut cabe hijau. Untuk sayurannya tumis kangkung balacan yang saya cicipi. Kangkungnya masih segar dan cryspy ditambah potongan udang menjadikannya semakin mantap hingga rasa kuahnya. Sementara itu hotplate-nya saya mencoba sapi lada hitam dan tahu hotplate. Minumnya saya menikmati jus martabe, yang menjadi favorit disini. Jus ini terdiri dari markisa yang berada di bawah dan terong Belanda di atasnya. Kemudian diaduk hingga rasanya begitu segar.
Setelah mencicipi santap malam, saya pun berjalan ke tempat penggorengan Wajir Seafood. Ternyata ada beberapa tempat memasak dengan koki yang cekatan. Selain itu para pramusaji selalu sigap begitu masakan telah tersedia. Lengkap sudah makan malam yang nikmat sambil ditemani angin sepoi-sepoi dengan pelayanan yang memuaskan.




Teks & Foto: Riman Saputra N

Jumat, 02 Januari 2015

Intro Jazz Bistro & Cafe BSD








Intro Jazz Bistro
Sunburst CBD Lot II / 18C
Jl. Boulevard BSD Timur, BSD City
South Tangerang

Umbul Pasiraman

TEMPAT PEMANDIAN SULTAN


Perpaduan arsitektur klasik yang indah dan megah dengan segarnya air kolam menjadikan pemandangan situs Taman Sari begitu memesona. Umbul Pasiraman menjadi salah satu yang menarik di Istana Air Taman Sari.

Kota Yogyakarta sarat nilai budaya Jawa yang salah satunya terlihat dari gaya arsitektur keraton. Namun selain keraton, masih ada bangunan lain yang berarsitektur unik, yaitu Taman Sari. Komplek sistematis ini banyak menonjolkan wisata airnya dengan tampilan gaya dan seni yang cantik. Istana Air Taman Sari menjadi salah satu bangunan dengan nilai artistik nan unik yang masih terjaga dengan baik hingga sekarang. Dan yang paling dikenal di Istana Air ini adalah Umbul Pasiraman, taman pemandian Sultan beserta keluarganya.

Becak menjadi sarana transportasi yang saya gunakan untuk mencapai tempat pemandian Sultan. Pengayuh becak membawa saya lewat Jalan Kadipaten kemudian masuk ke jalanan sempit dan berhenti di batik painting Suhardi yang juga berada di kawasan Tamansari. Setelah menikmati beberapa lukisan batik, kemudian saya diantar pengayuh becak menuju Istana Air dengan berjalan kaki karena jaraknya cukup dekat.

Begitu tiba di pintu masuk, pengaruh Hindu, Budha, Jawa, Islam, dan gaya Eropa terlihat jelas pada arsitektur bangunan yang memiliki luas lebih dari 10 hektar. Inilah Gapura Panggung yang menjadi pintu masuk Istana Air. Stilasi sulur-sulur tanaman, burung, ekor dan sayap burung garuda menghiasi sebagian besar bangunannya. Di sebelah timur gapura ini ada Gedhong Temanten yang dulunya sebagai tempat penjagaan. Nah, untuk masuk ke tempat wisata yang berada di Jalan Taman ini dikenakan tiket masuk Rp. 5.000 per orang dan kalau ingin menyewa tour guide dikenakan biaya tambahan Rp. 25.000.

Setelah itu saya melangkahkan kaki masuk ke istana yang dibangun pada 1758-1769 oleh Raja Mataram (Jogja), Sultan Hamengkubuwono I. Langkah kaki membawa saya menapaki beberapa anak tangga yang terdapat di Gapura Panggung. Sesaat saya berhenti sejenak untuk menikmati keindahan Istana Air dari atas. Namun tempat pemandiannya tidak begitu terlihat karena tertutup layer-layer gapura nan artistik berjajar hingga paling belakang. Ukiran ornamen pada setiap dindingnya pun begitu detail saat dilihat dari dekat.

Setelah itu saya melewati halaman yang cukup lapang dengan deretan pot bunga raksasa dan empat buah bangunan serupa yang disebut Gedhong Sekawan. Selanjutnya gemericik air pun langsung menyambut. Airnya begitu jernih dengan tembok-tembok kokoh berwarna krem mengelilinginya.  Area inilah yang dinamakan Umbul Pasiraman, taman pemandian Sultan beserta keluarganya di komplek Taman Sari.

Cuaca yang panas seakan tidak terasa saat melihat jernihnya  air di kolam yang menyegarkan dan menyejukan mata. Ditambah airnya yang terlihat biru muda yang fresh. Rasanya enak jika berendam disini. Namun hal itu tidak diperbolehkan karena Istana Air Taman Sari merupakan bangunan cagar budaya.

Taman pemandian ini terbagi menjadi tiga kolam yang semuanya dihiasi air mancur berbentuk jamur. Di sekelilingnya hiasan berupa pot-pot bunga besar menambah cantik tempat ini. Kolam yang pertama disebut Umbul Muncar yang dibatasi jalan mirip dermaga dengan kolam kedua di selatannya, Blumbang Kuras. Di selatan Blumbang Kuras terdapat bangunan dengan menara di tengahnya yang konon digunakan Sultan untuk melihat istri dan putrinya yang sedang mandi. Kolam yang ketiga disebut Umbul Binangun yang berada di selatan menara. Kolam pemandian ini khusus digunakan Sultan dan Permaisurinya saja.

Setelah menikmati segarnya kolam-kolam, saya melanjutkan ke area terakhir yaitu Gedhong Gapura Hageng. Gapura berukuran besar dengan detail ornamen bunga dan sayap burung ini memiliki halaman yang cukup lapang. Dahulu disinilah pintu masuk serta  tempat kedatangan Sultan dan keluarganya dengan menaiki kereta kencana. Inilah spot terakhir sebelum meninggalkan Istana Air untuk kembali berkeliling ke tempat-tempat wisata unik lain di sekitarnya.





Teks & Foto: Riman Saputra


Angkringan Kopi Joss Pak Seh

KOPI PLUS ARANG KHAS YOGYAKARTA


Malam-malam dengan udara dingin enaknya ditemani kopi panas. Namun di Yogyakarta ada kopi yang unik dengan memasukan arang ke dalam kopinya.

Sehabis berjalan-jalan di Malioboro malam-malam, rasanya akan nikmat kalau menyeruput kopi panas sambil nongkrong. Saya lalu berjalan ke arah Stasiun Tugu yang berada di Jalan Mangkubumi. Di jalan ini berjajar beberapa angkringan kopi joss. Orang-orang tampak memadati lesehan di area sekitar angkringan. Angkringan Kopi Jos Pak Seh menjadi pilihan saya untuk menikmati segelas kopi.

Di tempat ini terlihat ada dua buah bakul yang dihubungkan bambu, anglo dengan arang yang membara, dan deretan gelas. Sambil memperhatikan cara membuatnya, saya duduk di dekat bakul sambil mengobrol dengan pembuatnya.

             Awalnya sama seperti membuat kopi biasa, memasukan gula kemudian diseduh kopi panas yang sudah dikocok terlebih dahulu. Yang paling menarik yaitu proses setelah kopi selesai diseduh. Salah seorang mengambil sebuah bongkahan bara api yang masih menyala. Lalu bara tersebut dimasukkan ke dalam kopi. Bzzzzzz....terdengar suara dan kepulan asap saat bara menyentuh air kopi. Tak lama kemudian bara pun mati menjadi arang. Kopi pun siap dinikmati.

Menurut pembuatnya, arang yang dimasukkan ke dalam kopi ini bukanlah dari kayu sembarangan. Arang kayu sambi menjadi paduan kopi joss ini dan berkhasiat untuk menghilangkan masuk angin. Selain itu kadar kafeinnya juga menjadi rendah karena dinetralisir arang.


Setelah mengobrol sebentar, saya pindah posisi duduk di tikar yang digelar di trotoar bersama para pembeli lainnya. Saat di minum memang terasa aroma arangnya, namun tidak mengganggu rasa. Kopinya masih begitu terasa.

Tidak hanya kopi saja yang bisa dinikmati di angkringan yang berjualan muali jam tiga sore sampai jam tiga subuh ini. Minumannya ada teh dan susu. Untuk makanannya ada sego kucing berlauk oseng tempe dan sambal teri, gorengan, serta beragam jenis sate, mulai dari sate ayam, usus, telur, hingga ati ampela. Lengkap sudah menu yang menemani nongkrong di malam hari, banyak makanan yang bisa menjadi teman segelas kopi joss di malam hari.






Teks & Foto: Riman Saputra N

Timbel Bawean


TIMBELNA URANG BANDUNG



Nasi timbel merupakan salah satu makanan Sunda yang populer dengan penyajian tradisional. Di Bandung, penjual nasi timbel sudah tak terhitung lagi, namun nama Timbel Bawean tetap menjadi yang favorit.

Setelah jalan-jalan di Kota Bandung sejak pagi hari, saya memutuskan untuk santap siang di Timbel Bawean yang sudah berjualan sejak 1985. Patokan yang saya ambil adalah Stadion Siliwangi karena Jalan Bawean terletak di seberangnya. Kalau yang pernah beli oleh-oleh di took kue Bawean, nah Timbel Bawean ada di seberangnya, tepatnya Jalan Bawean Pav 3. Sebuah gerobak mangkal di depan warung sederhana. Gerobak inilah yang digunakan untuk berjualan pertama kali.

Saat itu saya ikut mengantri mengingat waktunya makan siang sehingga warung dipenuhi pembeli. Di bagian paling depan saya disambut dua pilihan nasi yang dibungkus daun, yaitu nasi merah dan nasi putih. Saya mengambil nasi merah karena tidak setiap hari bisa makan nasi merah. Selanjutnya jajaran lauk telah menanti untuk dipilih di gerobak yang agak besar, mulai dari ayam goreng, ikan goreng, pepes peda, pepes ikan mas, pepes ayam, pepes usus, tumis usus, ikan asin, karedok leunca, ati ampela, tahu, tempe, gepuk, sayur asem, dan tentunya ada sambel serta lalapan. Ayam, ikan, tahu, tempenya digoreng dadakan sesuai pesanan dan lauk lain yang sudah dingin bisa digoreng lagi atau dihangatkan.


Sistem penjualan di warung yang buka setiap hari mulai jam tujuh pagi sampai jam empat sore ini seperti swalayan alias self service. Jadi setelah mengambil nasi beserta lauk pauknya, saya membawanya ke kasir untuk membayar. Dan bisa dibilang harga makanan disini cocok buat kantong dengan kisaran 15-25 ribu saja. Tapi tetap bagaimana banyaknya lauk yang dipilih. Untuk teh-nya gratis namun tidak dengan aneka jus yang harus dibeli. Selanjutnya tinggal mencari tempat duduk yang pas deh untuk menyantap makan siang.

Begitu timbel dibuka, nasinya panas pulen dan padat serta mengeluarkan aroma harum dari daun pisang yang benar-benar menggugah selera makan. Bumbu-bumbu yang digunakan pun terasa lezat dan gurih sesuai ciri makanan Sunda ditambah sambal yang bikin lidah bergoyang. Pokona mah mantep weh lah, Sunda pisan euy.





Teks & foto: Riman Saputra N