Categories

Senin, 04 Mei 2015

Porta Venezia

MENU INTERNASIONAL BERNUANSA ITALIA


Tak perlu lagi jauh-jauh mencari kenikmatan citarasa pizza khas Italia. Kerenyahan pizza bertekstur tipis, dengan topping yang tidak terlalu padat ini pun bisa ditemui di Porta Venezia.

Restoran yang berlokasi di lantai 2 Hotel Arya Duta Semanggi ini sarat akan nuansa Italia. Nama Porta Venezia sendiri diambil dari bahasa Italia, yang memiliki makna, gerbang menuju Venezia. Di pintu masuk, tamu langsung disambut  dua buah patung yang memegang lampu. Suasananya semakin kuat dengan atap yang dilukis nuansa Italia yang kental.
Suasana semakin hangat kala melangkahkan kaki lebih dalam. Tata letak meja dan kursi membuat tamu bebas memilih maksud dan tujuan datang ke restoran ini. Bila beranjak ke sisi kanan, jejeran meja dan kursi didesain untuk empat hingga enam orang. Ditambah penempatan bar untuk suasana yang lebih santai. Di sisi kiri, suasana lebih pribadi dengan penempatan sofa kecil diterangi remangnya lampu klasik. Bila ingin menjadikan restoran ini sebagai tempat meeting, di ujung restoran pun terdapat private room berkapasitas 12 orang.
Yang menarik perhatian adalah keberadaan oven tungku tradisional untuk memanggang pizza di restoran ini. Walaupun mengusung konsep International Casual Dining, keberadaan oven tungku tradisional ini menegaskan bahwa Porta Venezia tetap berusaha memberikan karakter pizza Italia otentik ke tamunya.
Untuk itu, pizza adalah pilihan pertama kala daftar menu disajikan oleh pelayan yang ramah. Pizza Margherita menjadi pilihan utama. Pizza legendaris Italia ini terasa sangat klasik. Aroma khas oven tungku mewarnai renyahnya potong demi potong pizza yang hanya diberi topping saus tomat, irisan tomat segar, daun basil dan taburan keju mozzarella ini.

Sesuai dengan konsep menunya, tidak hanya menu Italia yang disajikan disini, menu Indonesia pun menjadi primadona bagi sebagian tamu. Menu sop buntut adalah sebuah citra kuliner Indonesia yang kuat disajikan dengan rasa yang otentik di Porta Venezia. Gurihnya sup yang meruap menambah nikmat buntut yang diolah hingga lembut. Untuk menambah rasa segar, acar menjadi pendamping yang serasi.
Mewakili menu western di Porta Venezia adalah Australian Beef Sirloin. Menu ini disajikan dalam sebuah hot stone, sehingga saya bebas memilih sendiri tingkat kematangan yang diinginkan. Menikmati menu ini memberikan kesenangan tersendiri, serasa sedang menjadi seorang chef ketika membolak-balik daging hingga matang. Sebagai paduannya, demiglace sauce dan barbeque sauce melengkapi citarasa menu ini.
Ditengah balutan nuansa Italia, menikmati aneka hidangan dari berbagai dunia membuat apa yang disajikan Porta Venezia terasa lengkap. Konsep restoran kuat ditunjang dengan aneka pilihan menu yang akan menggugah selera, meninggalkan kesan terasa memikat.

Porta Venezia Restaurant
Hotel Aryaduta Semanggi – Level 2
Jl. Garnisun Dalam no.8, Jakarta 12930







Teks : Dody Wiraseto - Foto: Riman

Tanjung Layar

UJUNG PERTAMA PULAU JAWA



Sepasang tebing karang menyerupai layar perahu menjulang tinggi dekat bibir pantai. Barikade karang, sepanjang sekitar 1 kilometer, berjajar di belakangnya menahan deras laju ombak yang menghampiri. Inilah pemandangan di Tanjung Layar, objek wisata pantai di Desa Sawarna, Provinsi Banten.


Jarum jam menunjukkan pukul sembilan malam. Dari Ibu Kota, empat buah mobil yang mengangkut saya dan beberapa rekan berjalan beriringan menyusuri rute Jakarta-Sukabumi-Pelabuhan Ratu-Desa Sawarna. Sengaja kami pilih rute ini karena lebih cepat dan kondisi jalannya lebih bagus ketimbang jalur Malimping.

Malam hari jalanan cukup lengang dan lancar. Setelah sekitar empat jam menempuh perjalanan, kami tiba di Pelabuhan Ratu, beristirahat sejenak sambil ngopi. Cukup istirahat, kami melanjutkan sisa perjalanan sekitar 50 km.

Tak lama berselang, jalanan di hadapan kami pun menyempit. Track-nya cukup mengerikan. Tanjakan dan turunan curam menyatu dengan kelokan-kelokan cukup tajam. Usai tanjakan, sekelebat pandangan mata jalanan tampak hilang karena begitu cepat disambut turunan berkelok. Tentu harus ekstrahati-hati melewati jalanan ini.

Setelah lebih kurang dua jam menguji nyali di jalanan menantang, tibalah kami di Desa Wisata Sawarna. Jembatan kayu sepanjang 10-15 meter menjadi penyapa awal begitu memasuki kawasan ini. Jembatan itu bergoyang-goyang kala kami menjejaknya. Tandas melintasinya, ternyata saya masih merasakan goyangan itu. Kawan-kawan idem ditto begitu saya tanya.

Sekitar 1 km kami berjalan kaki menuju penginapan. Di kiri-kanan sepanjang jalan kecil yang kami lalui berjejer rumah warga yang dijadikan penginapan. Tukang ojek juga banyak lalu lalang di jalanan ini. Sekitar pukul 04.00 pagi, kami tiba di penginapan dan beristirahat.

TEBING BERBENTUK LAYAR

Kala hari mulai benderang, kedua kaki saya ayunkan menuju pantai. Dulu kawasan sekitarnya adalah perkebunan kelapa. Pantai berhamparan pasir putih indah membentang. Karena sebelumnya gagal menikmati sunrise akibat tertutup bukit, saya memutuskan menunggunya di pantai ini.

Jarak penginapan menuju pantai cukup dekat. Ombak cukup besar bergulung-gulung membelai pantai itu. Saya berjalan menyisiri pantai ini menuju spot utamanya, Tanjung Layar, yang menjadi ikon Pantai Sawarna. Banyak juga pengunjung menghabiskan waktu 15-20 menit untuk berjalan menuju tanjung yang dinamai Java’s Eerste Punt (Ujung Pertama Pulau Jawa) semasa kekuasaan Hindia-Belanda ini.

Pemandangan sebuah pohon besar tumbang ke arah pantai sempat menghentikan langkah saya. Di mata saya pohon tumbang ini menawarkan keindahan tersendiri sehingga saya habiskan sebentar waktu menikmatinya.

Tak jauh, sepasang batukarang berbentuk seperti layar perahu menjulang kokoh di pinggir pantai yang agak menjorok ke laut. Batu karang ini merupakan bagian ujung dari tanjung. Di bagian belakang tebing karang tinggi-besar ini barikade karang berjajar hingga lebih kurang 1 km. Deburan ombak laut selatan Jawa terpecah di ujung barikade karang ini, melindungi sepasang tebing karang itu hingga tetap nyaman berdiri kokoh.

Puluhan, bahkan ratusan, pengunjung menyeberang untuk mendekati sepasang tebing karang itu. Airnya tampak tak terlalu dalam, sebatas pinggang atau paling dalam sedada. Cuma harus hati-hati memijak agar tidak terpeleset.

Tepat di bawah tebing karang, banyak pengunjung mengabadikan sepasang tebing karang itu dengan kamera handphone maupun DSLR-nya. Tongsis yang berkilauan banyak terlihat di sekitaran pantai ini. Di tepian pantainya pun pengunjung yang berfoto ria tidak kalah banyak. Karang-karangnya begitu indah, apalagi berpadu dengan hamparan pasir putih.

Siang menjelang. Saatnya beristirahat sembari menikmati kelapa muda di saung pantai. Di sepanjang pantai ini memang banyak orang berjualan, mulai dari minuman hingga pakaian.

Cukup, saatnya kembali ke penginapan sambil menunggu sore. Dalam perjalanan menuju penginapan, saya berpapasan dengan semakin banyak orang berdatangan menuju pantai itu. Hingga tiba di penginapan pun arus orang menuju pantai masih bisa saya saksikan. Saya bisa jelas menyaksikannya karena penginapan saya berada persis di depan gapura bambu menuju pantai.

SUNSET DI TANJUNG LAYAR

Sekitar pukul empat sore, bergegas saya kembali ke Pantai Sawarna. Sejumlah pengunjung tampak asyik bermain bola. Lainnya sibuk berkreasi dengan pasir dan menikmati ombak bergulung-gulung menuju pantai.

Kedua kaki melangkah lagi menuju sepasang tebing karang di pinggir pantai meski, awalnya, saya sempat ragu itu spot tepat untuk menikmati sunset. Keraguan itu mengemuka karena banyak pengunjung berjalan ke arah sebaliknya.

Namun, keraguan itu terjawab kala mencapai sepasang tebing tinggi itu, lantas melihat-lihat sekeliling mencari tempat yang pas untuk melihat surya tenggelam. Sepertinya sepasang tebing tinggi itu tepat. Sambil memegang kamera, saya memberanikan diri menyeberang ke tebing berbentuk layar itu. Butuh waktu cukup lama untuk menyeberang karena harus memilih-milih pijakan agar tidak terjatuh.

Dari dekat, sepasang tebing karang ini tampak lebih indah dan begitu besar. Air di sekitarnya sangat dangkal, hanya beberapa centimeter. Ombak yang datang benar-benar terhalang barikade karang di belakangnya. Ditemani indah siluet sepasang tebing karang yang tinggi, cahaya senja perlahan memudar di ujung cakrawala. Di sini tempat yang saya rasakan benar-benar tepat untuk menikmati Pantai Sawarna.

Setelah matahari benar-benar tenggelam, saya kembali menyeberang menuju pantai bersama para pengunjung lain. Saat malam tiba, kami melewatinya dengan barbeque-an. Dengan arang batu bara, sejumlah ikan kembung dan cumi besar telah disiapkan untuk menemani malam di Sawarna. Tak ketinggalan jagung bakar untuk menghangatkan badan.


JEMBATAN GOYANG

Esoknya, bersama kawan-kawan kembali ke Jakarta. Dalam perjalanan menuju areal parkir, kami bertemu jembatan goyang lagi. Jika saat berangkat jalanan sepi, begitu pun yang melewati jembatan goyang, tidak demikian hari itu. Antrean panjang orang menanti melintasinya sehingga harus diberlakukan sistem buka-tutup layaknya arus mudik-balik Lebaran.

Kami juga harus mengantre. Oh, ternyata yang lewat jembatan ini bukan hanya pejalan kaki, tetapi juga motor. Susah dibayangkan bagaimana rasanya naik motor melintasi jembatan goyang itu. Melihat alasanya dari kayu, sekilas pikiran saya kok mengatakan jembatan itu tidak kuat menahan beban cukup berat. Toh, perkiraan saya keliru.

Akhirnya tiba juga giliran kami. Sulit rasanya berjalan tanpa memegang kawat di pinggir. Meski begitu goyangannya masih mengganggu keseimbangan badan. Efek goyangannya terasa hingga beberapa saat setelah purna melintasinya.

Jembatan goyang itu merupakan satu-satunya akses menuju pantai ujung pertama Pula Jawa. Berkat jembatan itu pula Pantai Sawarna, yang dibincang sebagai hidden paradise, kini semakin banyak dikunjungi wisatawan. Bisa jadi keindahan pantai itu telah cepat menyebar ke berbagai tempat. Sejujurnya, Pantai Sawarna memang bisa menjadi tempat pas menikmati liburan bersama keluarga, sahabat, dan kawan.












Teks & Foto: Riman Saputra N