UJUNG PERTAMA PULAU JAWA
Sepasang tebing karang menyerupai layar perahu menjulang tinggi
dekat bibir pantai. Barikade karang, sepanjang sekitar 1 kilometer, berjajar di
belakangnya menahan deras laju ombak yang menghampiri. Inilah pemandangan di
Tanjung Layar, objek wisata pantai di Desa Sawarna, Provinsi Banten.
Jarum
jam menunjukkan pukul sembilan malam. Dari Ibu Kota, empat buah mobil yang
mengangkut saya dan beberapa rekan berjalan beriringan menyusuri rute Jakarta-Sukabumi-Pelabuhan
Ratu-Desa Sawarna. Sengaja kami pilih rute ini karena lebih cepat dan kondisi
jalannya lebih bagus ketimbang jalur Malimping.
Malam
hari jalanan cukup lengang dan lancar. Setelah sekitar empat jam menempuh
perjalanan, kami tiba di Pelabuhan Ratu, beristirahat sejenak sambil ngopi. Cukup istirahat, kami melanjutkan
sisa perjalanan sekitar 50 km.
Tak
lama berselang, jalanan di hadapan kami pun menyempit. Track-nya cukup mengerikan. Tanjakan dan turunan curam menyatu
dengan kelokan-kelokan cukup tajam. Usai tanjakan, sekelebat pandangan mata
jalanan tampak hilang karena begitu cepat disambut turunan berkelok. Tentu
harus ekstrahati-hati melewati jalanan ini.
Setelah
lebih kurang dua jam menguji nyali di jalanan menantang, tibalah kami di Desa
Wisata Sawarna. Jembatan kayu sepanjang 10-15 meter menjadi penyapa awal begitu
memasuki kawasan ini. Jembatan itu bergoyang-goyang kala kami menjejaknya.
Tandas melintasinya, ternyata saya masih merasakan goyangan itu. Kawan-kawan idem ditto begitu saya tanya.
Sekitar
1 km kami berjalan kaki menuju penginapan. Di kiri-kanan sepanjang jalan kecil
yang kami lalui berjejer rumah warga yang dijadikan penginapan. Tukang ojek
juga banyak lalu lalang di jalanan ini. Sekitar pukul 04.00 pagi, kami tiba di
penginapan dan beristirahat.
TEBING BERBENTUK LAYAR
Kala
hari mulai benderang, kedua kaki saya ayunkan menuju pantai. Dulu kawasan
sekitarnya adalah perkebunan kelapa. Pantai berhamparan pasir putih indah
membentang. Karena sebelumnya gagal menikmati sunrise akibat tertutup bukit, saya memutuskan menunggunya di
pantai ini.
Jarak
penginapan menuju pantai cukup dekat. Ombak cukup besar bergulung-gulung membelai
pantai itu. Saya berjalan menyisiri pantai ini menuju spot utamanya, Tanjung Layar, yang menjadi ikon Pantai Sawarna.
Banyak juga pengunjung menghabiskan waktu 15-20 menit untuk berjalan menuju
tanjung yang dinamai Java’s Eerste Punt
(Ujung Pertama Pulau Jawa) semasa kekuasaan Hindia-Belanda ini.
Pemandangan
sebuah pohon besar tumbang ke arah pantai sempat menghentikan langkah saya. Di
mata saya pohon tumbang ini menawarkan keindahan tersendiri sehingga saya
habiskan sebentar waktu menikmatinya.
Tak
jauh, sepasang batukarang berbentuk seperti layar perahu menjulang kokoh di
pinggir pantai yang agak menjorok ke laut. Batu karang ini merupakan bagian
ujung dari tanjung. Di bagian belakang tebing karang tinggi-besar ini barikade
karang berjajar hingga lebih kurang 1 km. Deburan ombak laut selatan Jawa
terpecah di ujung barikade karang ini, melindungi sepasang tebing karang itu
hingga tetap nyaman berdiri kokoh.
Puluhan,
bahkan ratusan, pengunjung menyeberang untuk mendekati sepasang tebing karang
itu. Airnya tampak tak terlalu dalam, sebatas pinggang atau paling dalam
sedada. Cuma harus hati-hati memijak agar tidak terpeleset.
Tepat
di bawah tebing karang, banyak pengunjung mengabadikan sepasang tebing karang
itu dengan kamera handphone maupun
DSLR-nya. Tongsis yang berkilauan banyak terlihat di sekitaran pantai ini. Di
tepian pantainya pun pengunjung yang berfoto ria tidak kalah banyak.
Karang-karangnya begitu indah, apalagi berpadu dengan hamparan pasir putih.
Siang
menjelang. Saatnya beristirahat sembari menikmati kelapa muda di saung pantai.
Di sepanjang pantai ini memang banyak orang berjualan, mulai dari minuman
hingga pakaian.
Cukup,
saatnya kembali ke penginapan sambil menunggu sore. Dalam perjalanan menuju
penginapan, saya berpapasan dengan semakin banyak orang berdatangan menuju
pantai itu. Hingga tiba di penginapan pun arus orang menuju pantai masih bisa
saya saksikan. Saya bisa jelas menyaksikannya karena penginapan saya berada
persis di depan gapura bambu menuju pantai.
SUNSET DI TANJUNG LAYAR
Sekitar
pukul empat sore, bergegas saya kembali ke Pantai Sawarna. Sejumlah pengunjung
tampak asyik bermain bola. Lainnya sibuk berkreasi dengan pasir dan menikmati
ombak bergulung-gulung menuju pantai.
Kedua
kaki melangkah lagi menuju sepasang tebing karang di pinggir pantai meski,
awalnya, saya sempat ragu itu spot
tepat untuk menikmati sunset.
Keraguan itu mengemuka karena banyak pengunjung berjalan ke arah sebaliknya.
Namun,
keraguan itu terjawab kala mencapai sepasang tebing tinggi itu, lantas melihat-lihat
sekeliling mencari tempat yang pas untuk melihat surya tenggelam. Sepertinya
sepasang tebing tinggi itu tepat. Sambil memegang kamera, saya memberanikan
diri menyeberang ke tebing berbentuk layar itu. Butuh waktu cukup lama untuk
menyeberang karena harus memilih-milih pijakan agar tidak terjatuh.
Dari
dekat, sepasang tebing karang ini tampak lebih indah dan begitu besar. Air di
sekitarnya sangat dangkal, hanya beberapa centimeter. Ombak yang datang benar-benar
terhalang barikade karang di belakangnya. Ditemani indah siluet sepasang tebing
karang yang tinggi, cahaya senja perlahan memudar di ujung cakrawala. Di sini
tempat yang saya rasakan benar-benar tepat untuk menikmati Pantai Sawarna.
Setelah
matahari benar-benar tenggelam, saya kembali menyeberang menuju pantai bersama
para pengunjung lain. Saat malam tiba, kami melewatinya dengan barbeque-an. Dengan arang batu bara,
sejumlah ikan kembung dan cumi besar telah disiapkan untuk menemani malam di
Sawarna. Tak ketinggalan jagung bakar untuk menghangatkan badan.
JEMBATAN GOYANG
Esoknya,
bersama kawan-kawan kembali ke Jakarta. Dalam perjalanan menuju areal parkir,
kami bertemu jembatan goyang lagi. Jika saat berangkat jalanan sepi, begitu pun
yang melewati jembatan goyang, tidak demikian hari itu. Antrean panjang orang
menanti melintasinya sehingga harus diberlakukan sistem buka-tutup layaknya
arus mudik-balik Lebaran.
Kami
juga harus mengantre. Oh, ternyata yang lewat jembatan ini bukan hanya pejalan
kaki, tetapi juga motor. Susah dibayangkan bagaimana rasanya naik motor
melintasi jembatan goyang itu. Melihat alasanya dari kayu, sekilas pikiran saya
kok mengatakan jembatan itu tidak
kuat menahan beban cukup berat. Toh,
perkiraan saya keliru.
Akhirnya
tiba juga giliran kami. Sulit rasanya berjalan tanpa memegang kawat di pinggir.
Meski begitu goyangannya masih mengganggu keseimbangan badan. Efek goyangannya
terasa hingga beberapa saat setelah purna melintasinya.
Jembatan
goyang itu merupakan satu-satunya akses menuju pantai ujung pertama Pula Jawa.
Berkat jembatan itu pula Pantai Sawarna, yang dibincang sebagai hidden paradise, kini semakin banyak
dikunjungi wisatawan. Bisa jadi keindahan pantai itu telah cepat menyebar ke
berbagai tempat. Sejujurnya, Pantai Sawarna memang bisa menjadi tempat pas
menikmati liburan bersama keluarga, sahabat, dan kawan.
Teks
& Foto: Riman Saputra N
Tidak ada komentar:
Posting Komentar