DESA LUMBAN SUHI-SUHI TORUAN
Pengrajin Ulos di Tengah Danau Toba
Bangunan sederhana beralaskan pasir menjadi tempat para penenun ulos
tinggal. Sejumlah alat tenun ulos dan pemintal benang, hingga kain-kain ulos
yang menggantung menjadi pemandangan yang asyik di Desa Lumban Suhi-suhi Toruan.
Sejumlah ibu-ibu dan
beberapa gadis muda tampak asyik menenun ulos di depan rumah sambil
bercengkrama dibarengi jari-jemari mereka lincah memainkan benang-benang yang
meluncur dan kayu-kayu yang menjepit. Itulahah gambaran singkat
Desa Lumban
Suhi-suhi Toruan, desa pengrajin ulos.
Desa Lumban Suhi-suhi Toruan terletak
di antara pelabuhan Tomok dan Kota Kabupaten Samosir, yaitu Pangururan. Butuh
waktu sekitar 40 menit dari desa Tomok atau 20 menit dari Pangururan menuju desa
pengrajin ulos ini melalui jalan darat. Ulos adalah kain terun khas
Batak berbentuk selendang. Secara harfiah, ulos berarti selimut yang menghangatkan
tubuh dan melindunginya dari terpaan udara dingin.
Desa pengrajin ulos sebenarnya telah lama terbentuk dengan tujuan untuk
melestarikan kain tenun khas Batak agar tidak punah seiring dengan
berkembangnya mode yang semakin lama menyebabkan warisan Indonesia tersebut
semakin tenggelam. Serta beberapa alasan lainnya untuk mempertahankan
eksistensi kain ulos tersebut agar tetap digunakan
pada momen-momen tertentu.
Saat itu saya berangkat
bersama rombongan dari Kementerian
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) – dan desa
ini merupakan salah satu tempat tujuan dalam rangkaian Jelajah Toba 2013.
Indahnya danau Toba
tersaji sepanjang perjalanan menuju desa yang kerap dikunjungi wisatawan asing
maupun lokal karena kerajinan tenun ulosnya. Pemandangan Gunung Pusuk Buhit
juga ikut mewarnai panorama tanah Batak ini. Selain itu, perkampungan Batak
dengan rumah adatnya “Jabu Bolon” mengiringi perjalanan di sisi kiri dan kanan.
Saat memasuki kawasan desa
ini, terlihat para wanita setempat sedang menenun ulos di luar rumah maupun di
bawah pohon sambil bercengkrama satu sama lain. Bangunan sederhana beralaskan
pasir menjadi tempat para penenun ulos ini tinggal. Sejumlah alat tenun ulos
dan pemintal benang hingga kain-kain ulos yang menggantung menjadi pemandangan
yang asyik di desa ini.
Di depan rumah, para wanita
penenun ulos ada duduk di atas papan kayu dan juga ada yang di tikar dengan
peralatan tenun di atas kaki mereka. Bilah-bilah kayu digerakkan, maju mundur
untuk merapikan benang, dan mengencangkan tenunan. Sambil menenun, sebuah
selongsong benang diluncurkan dari sudut kanan ke kiri serta sebaliknya untuk
membuat motif. Mereka terlihat sangat menikmati aktifitas tersebut yang
dilakukannya tiap hari.
Alat tenun yang mereka
gunakan pun masih sederhana. Bahan-bahan yang menunjang untuk teknologi itu
juga didapatkan dari sekitar wilayah mereka tinggal. Seorang anak gadis
terlihat menggulung dan merapikan benang dengan memutarnya pada sebuah alat
seperti roda. Ada juga yang memisah-misahkan benang.
Warga Desa Lumban Suhi-suhi
Toruan tampaknya sudah terbiasa menerima pengunjung. Mereka tidak
merasa terganggu saat kami datang dan memperhatikan mereka bekerja. Mereka juga
tidak sungkan untuk mengobrol.
Pengunjung
yang datang ke desa ini dapat membeli ulos langsung dari tangan para penenun.
Harganya berkisar antara 300 ribu rupiah hingga 500 ribu rupiah untuk jenis ulos standar
berbahan benang sutra. Sedangkan untuk ulos dengan kualitas tinggi bisa
mencapai 1 juta hingga 5 juta rupiah.
Saya rasa harga yang tidak
relatif murah ini sangat layak mengingat proses pengerjaannya yang tidak mudah
dan memakan waktu sekitar satu sampai empat minggu untuk satu kain ulos.
Persembahan untuk Pernikahan
Tak
hanya itu, dalam proses pembuatan kain tenun Ulos, para pengrajin menggunakan
bahan-bahan pewarna alami yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Hal itu berfungsi
untuk menjaga kualitas kain tenun ulos
agar tetap awet dan tidak mudah luntur.
Selain
itu bahan-bahan pewarna alami tersebut juga mudah di dapatkan di sekitar Pulau
Samosir,
sehingga para pengrajin tidak perlu mengeluarkan biaya yang lebih untuk membeli
bahan-bahan pewarna buatan yang harganya cukup mahal, dan dapat mempengaruhi kualitas
kain tenun Ulos.
Kunjungan kami ditutup
dengan nyanyian Ibu Marudut. Ia bernyanyi sambil mengenakan ulos berwarna
merah. Suaranya begitu merdu melantunkan lagu dalam bahasa Batak. Walaupun
tidak mengerti bahasanya, saya tetap bisa menikmatinya. Setelah itu ia pun
mengiringi kami hingga kembali ke mobil.
Teks & foto: Riman Saputra N
Tidak ada komentar:
Posting Komentar