Categories

Rabu, 11 Juni 2014

Kampung Naga


KAMPUNG NAGA
HIDUP BERSAMA ALAM

Kampung Naga bukanlah tempat wisata. Kampung Naga adalah kampung adat. Masyarakat Naga memegang teguh adat istiadat leluhurnya, sehingga sejak jaman dahulu hingga sekarang tidak ada yang berubah dari Kampung Naga. Kampung Naga tetap lestari.

Susunan rumah di Kampung Naga


     Penamaan Kampung Naga tidak ada hubungannya dengan karakter naga di film-film atau cerita-cerita. Masyarakat Naga tidak ada yang tahu asal usul nama Naga. Mereka hanya bisa menerka-nerka saja, yang katanya kemungkinan berasal dari nagawir yang artinya berada di lembah. Jika dilihat dari letaknya memang Kampung Naga ini berada di lembah.

Tugu Kujang Pusaka
     ‘Hidup bersama alam, bukan hidup dengan alam’, itulah filosofi hidup di Kampung Naga. Hidup bersama alam berbeda dengan hidup di alam. Hidup bersama alam maka alam dipelihara, jika hidup di alam kadang alamnya dirusak. Dalam agama disebutkan, ‘bumi, air beserta isinya silahkan digunakan untuk manusia, tetapi jangan sekali-kali merusak yang ada’. Masyarakat Naga juga menggunakan alam untuk kehidupannya, seperti mengambil kayu untuk kayu bakar atau untuk membangun rumah, tetapi tidak pernah merusak hutan. Hutan yang ada dibiarkan. Mereka menanam kayu di tanah yang tidak bisa ditanami padi. Sesuai prinsipnya, ‘jika ingin mengambil kayu harus bisa menanam dahulu, jika mau mengambil satu, harus bisa menanam 10.’ Hasilnya hutan di kampung adat selalu lestari.

     Kampung Naga yang berada di wilayah Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat ini merupakan sebuah perkampungan adat yang masyarakatnya masih memegang kuat adat istiadat peninggalan leluhurnya. Mereka melestarikan kebudayaan nenek moyang tanpa terpengaruh oleh budaya luar. Terletak tidak jauh dari jalan raya yang menghubungkan kota Garut dengan Tasikmalaya. Aliran sungai Ciwulan membatasi Kampung Naga bagian utara dan timur, sawah-sawah penduduk membatasi sebelah selatan dan hutan keramat yang terdapat makam Sembah Eyang Singaparna di sebelah barat. Sehingga Kampung Naga ini benar-benar dikelilingi oleh alam.

Tangga yang harus dituruni
     Sebelum memasuki area Kampung Naga, kita sudah disambut dengan adanya Tugu Kujang Pusaka yang berada di lapangan parkir. Kujang yang berada di atas tugu adalah kujang terbesar di dunia, yang dibentuk dari kurang lebih 900 kujang peninggalan raja-raja Sunda dan Nusantara. Di bagian bawah tugu terdapat ruangan kecil yang berisi beberapa benda pusaka dari berbagai daerah di Indonesia.

     Untuk menuju area Kampung Naga, kita harus menuruni tangga yang berjarak kurang lebih 500 meter dengan kemiringan sekitar 45 derajat hingga sampai ke tepi sungai Ciwulan. Kemudian dilanjutkan dengan berjalan kaki menyusuri sungai Ciwulan sampai ke dalam Kampung Naga yang hanya memiliki area pemukiman seluas 1,5 hektar yang dibatasi oleh pagar bambu. Di area pemukiman ini hanya terdapat 113 bangunan, yaitu Mesjid, balai pertemuan, lumbung padi umum yang digunakan untuk persediaan padi pada saat musim paceklik, 2 bumi ageung (bangunan yang dianggap suci) dan 108 rumah penduduk. Untuk jamban dan kandang ternak berada di luar rumah, yang menjadikannya milik bersama. Masyarakat Naga semuanya memeluk agama Islam, namun dalam pelaksanaannya menjadi sedikit berbeda karena tetap mengikuti adat istiadat yang sudah ada dari leluhurnya.

Mata Pencaharian

     Di sekitar pemukiman kita bisa melihat hamparan sawah yang luas. Ya, itu adalah sawah-sawah milik masyarakat Naga. Masyarakat Naga benar-benar bisa memanfaatkan apa yang ada di sekitarnya. Sesepuh tidak pernah membatasi lahan masyarakatnya di luar area pemukiman. Dengan terlihatnya hamparan sawah yang luas, kita bisa mengetahui bahwa sebagian besar masyarakat Naga bercocok tanam. Selain bercocok tanam, ada juga yang membuat kerajinan, berdagang dan ahli bangunan Sunda.

Indahnya alam di sekitar Kampung Naga

Awal masuk perkampungan
     Eh, tunggu dulu! Ada yang menarik dalam sistem pertanian Kampung Naga, semuanya menggunakan sistem organik mulai dari proses penanaman, pengolahan hingga menjadi nasi. Dalam mempertahankan kualitas padi dan menghindari hama, mereka menggunakan sistem pertanian janli, yaitu menanam padi hanya di bulan Januari dan Juli. Hama tidak dibasmi tetapi dibiarkan, karena mereka percaya bahwa semua makhluk hidup tidak ada yang merugikan dan juga untuk menjaga keseimbangan alam. Ada pepatah mengatakan jika ingin dipikawelas asih (dikasihi) kita juga harus mikawelas asih (mengasihi). Sama halnya terhadap hama.
 
Menumbuk padi
     Masyarakat Naga percaya jika padi itu Dewi Sri, seorang wanita, maka harus diperlakukan sebagai seorang wanita. Ada seorang canoli yang akan memimpim upacara penanaman padi. Dimulai dari sebelum tandur, diiringi oleh karinding sampai padi menguning, dengan maksud supaya tidak terganggu hama. Kemudian saat mulai menanam diiringi oleh suanten bancet karena padi harus terkena air. Bancet (katak) mengeluarkan bunyi di air. Yang terakhir, dilakukan suanten tongeret ketika panen, saat panas. Yang lebih menarik lagi saat padi reuneuh (hamil), padi disuguhan oleh rujak yang asam. Seperti halnya saat wanita sedang hamil senang makan rujak. Ada juga saat padi mulai menguning dilakukan upacara nyarian (memberi sari), dengan maksud supaya padi menjadi ada rasanya.




Bangunan

Rumah di Kampung Naga
     Dari kejauhan, kita bisa melihat bentuk rumah di Kampung Naga yang terlihat sama. Setelah diperhatikan ternyata bangunan yang berjumlah 113 itu memang hampir sama, hanya ukurannya saja yang bisa terlihat beda dan semuanya berbentuk rumah panggung. Bahan yang digunakan semuanya dari alam, sesuai filosofinya ‘hidup bersama alam’. Posisi rumahnya menghadap utara dan selatan, sehingga rumah menjadi saling berhadapan dan saling membelakangi. Sesuai dengan filosofinya pola hidup sederhana, gotong royong, saling tolong menolong dan hidup bersama alam, maka pintu dibuat menghadap pintu, sehingga sosialisasinya pun lebih baik.

     Struktur bangunan di Kampung Naga sama dengan struktur bangunan Sunda, diibaratkan seperti struktur manusia. Ada kaki, badan dan kepalanya. Kakinya adalah fondasinya, batu tatapakan, yang fungsinya sama seperti kuda-kuda dalam silat atau shockbreaker pada mobil, sehingga saat terjadi gempa, bagian atas mengikuti goyangan kakinya. Tidak seperti tembok yang cenderung kaku. Bagian badannya adalah ruangannya yang terbuat dari kayu. Untuk kepalanya adalah atapnya yang menggunakan ijuk dilapisi tepus. Dengan menggunakan atap dari ijuk dapat membuat siang hari yang panas terasa adem, dan saat malam terasa hangat.




   
Posisi rumah yang saling berhadapan
     Saat memasuki rumah di Kampung Naga, dalamnya sama seperti umumnya rumah Sunda, aktifitas semuanya dilakukan di ruang depan, tempat beristirahat dan dapur di belakang. Sementara itu ruangan –ruangan lain menjadi opsional karena adanya sekat (pembatas). Tidak adanya kursi di semua rumah menjadi daya tarik tersendiri. Ini terjadi karena masyarakat Naga memegang teguh pada filosofi ‘duduk sama rendah, berdiri sama tinggi’ dan bahwa semua manusia sama kodratnya di hadapan Tuhan. Posisi duduk pun ada pantangannya, dimana kaki tidak boleh selonjoran ke arah kiblat. Penggunaan tenaga matahari dan baterai dapat menggantikan listrik, sehingga masyarakat Naga masih bisa menonton TV dan aktifitas lainnya yang umumnya menggunakan listrik. Dan pada malam hari, masyarakat Naga menggunakan petromax untuk penerangannya.

Kesenian
Penduduk memainkan alat musik tradisional
     Saat berjalan-jalan di dalam area Kampung Naga, kita bertemu dengan warga Naga yang sedang bermain musik. Mereka memainkan karinding, celempung dan suling. Masyarakat Naga membuat ketiga alat musik tersebut sendiri. Dari ketiga alat musik tersebut, karinding adalah yang paling khas. Alat musik kayu dengan 3 nada yang dimainkan dengan cara dipukul 7 kali (sesuai jumlah hari dalam seminggu). Musik karinding ini dipercaya sudah ada sejak 500 tahun lalu yang biasa dimainkan untuk upacara panen.

    Sementara itu, kesenian yang ada di Kampung Naga hanya tiga, yaitu terbang gentung, terbang sajak dan angklung. Terbang gentung berbeda dengan dua kesenian lainnya yang bisa dipentaskan kapan saja. Terbang gentung hanya dipentaskan saat shalawat nabi saja.

How to get there:
Jalur Garut - Dari Terminal Lebak Bulus Jakarta naik bus Primajasa menuju terminal Garut, ongkos Rp. 35.000,-. Kemudian dari terminal Garut naik elf atau bis kecil menuju Kampung Naga, ongkos berkisar antara Rp.7.500.- Rp.15.000 -
Jalur Tasik - dari terminal Lebak Bulus Jakarta naik bus Primajasa menuju terminal Tasik, ongkos Rp. 40.000,- kemudian dari terminal Tasik naik elf atau bis kecil menuju Kampung Naga, ongkos berkisar antara Rp.10.000,- Rp. 20.000,-

Ruang tengah rumah

Dapur

Anak-anak bersantai di kolam

Bermain di lapangan


Teks & Foto: Riman Saputra N

Tidak ada komentar:

Posting Komentar