KAMPUNG NAGA
HIDUP
BERSAMA ALAM
Kampung Naga
bukanlah tempat wisata. Kampung Naga adalah kampung adat. Masyarakat Naga
memegang teguh adat istiadat leluhurnya, sehingga sejak jaman dahulu hingga
sekarang tidak ada yang berubah dari Kampung Naga. Kampung Naga tetap lestari.
Susunan rumah di Kampung Naga |
Penamaan Kampung Naga tidak ada hubungannya dengan karakter
naga di film-film atau cerita-cerita. Masyarakat Naga tidak ada yang tahu asal
usul nama Naga. Mereka hanya bisa menerka-nerka saja, yang katanya kemungkinan
berasal dari nagawir yang artinya
berada di lembah. Jika dilihat dari letaknya memang Kampung Naga ini berada di
lembah.
Tugu Kujang Pusaka |
‘Hidup bersama alam, bukan hidup dengan alam’, itulah
filosofi hidup di Kampung Naga. Hidup bersama alam berbeda dengan hidup di
alam. Hidup bersama alam maka alam dipelihara, jika hidup di alam kadang
alamnya dirusak. Dalam agama disebutkan, ‘bumi, air beserta isinya silahkan
digunakan untuk manusia, tetapi jangan sekali-kali merusak yang ada’. Masyarakat
Naga juga menggunakan alam untuk kehidupannya, seperti mengambil kayu untuk
kayu bakar atau untuk membangun rumah, tetapi tidak pernah merusak hutan. Hutan
yang ada dibiarkan. Mereka menanam kayu di tanah yang tidak bisa ditanami padi.
Sesuai prinsipnya, ‘jika ingin mengambil kayu harus bisa menanam dahulu, jika
mau mengambil satu, harus bisa menanam 10.’ Hasilnya hutan di kampung adat selalu
lestari.
Kampung Naga yang berada di wilayah Desa Neglasari,
Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat ini merupakan sebuah
perkampungan adat yang masyarakatnya masih memegang kuat adat istiadat
peninggalan leluhurnya. Mereka melestarikan kebudayaan nenek moyang tanpa
terpengaruh oleh budaya luar. Terletak tidak jauh dari jalan raya yang
menghubungkan kota Garut dengan Tasikmalaya. Aliran sungai Ciwulan membatasi
Kampung Naga bagian utara dan timur, sawah-sawah penduduk membatasi sebelah
selatan dan hutan keramat yang terdapat makam
Sembah Eyang Singaparna di sebelah barat. Sehingga Kampung Naga ini
benar-benar dikelilingi oleh alam.
Tangga yang harus dituruni |
Sebelum memasuki area Kampung Naga, kita sudah disambut
dengan adanya Tugu Kujang Pusaka yang berada di lapangan parkir. Kujang yang
berada di atas tugu adalah kujang terbesar di dunia, yang dibentuk dari kurang
lebih 900 kujang peninggalan raja-raja Sunda dan Nusantara. Di bagian bawah tugu
terdapat ruangan kecil yang berisi beberapa benda pusaka dari berbagai daerah
di Indonesia.
Untuk menuju area Kampung Naga, kita harus menuruni tangga
yang berjarak kurang lebih 500 meter dengan kemiringan sekitar 45 derajat
hingga sampai ke tepi sungai Ciwulan. Kemudian dilanjutkan dengan berjalan kaki
menyusuri sungai Ciwulan sampai ke dalam Kampung Naga yang hanya memiliki area
pemukiman seluas 1,5 hektar yang dibatasi oleh pagar bambu. Di area pemukiman
ini hanya terdapat 113 bangunan, yaitu Mesjid, balai pertemuan, lumbung padi
umum yang digunakan untuk persediaan padi pada saat musim paceklik, 2 bumi ageung
(bangunan yang dianggap suci) dan 108 rumah penduduk. Untuk jamban dan kandang
ternak berada di luar rumah, yang menjadikannya milik bersama. Masyarakat Naga
semuanya memeluk agama Islam, namun dalam pelaksanaannya menjadi sedikit
berbeda karena tetap mengikuti adat istiadat yang sudah ada dari leluhurnya.
Mata
Pencaharian
Di sekitar pemukiman kita bisa melihat hamparan sawah yang luas.
Ya, itu adalah sawah-sawah milik masyarakat Naga. Masyarakat Naga benar-benar
bisa memanfaatkan apa yang ada di sekitarnya. Sesepuh tidak pernah membatasi
lahan masyarakatnya di luar area pemukiman. Dengan terlihatnya hamparan sawah
yang luas, kita bisa mengetahui bahwa sebagian besar masyarakat Naga bercocok tanam.
Selain bercocok tanam, ada juga yang membuat kerajinan, berdagang dan ahli
bangunan Sunda.
Indahnya alam di sekitar Kampung Naga |
Awal masuk perkampungan |
Eh, tunggu dulu! Ada yang menarik dalam sistem pertanian
Kampung Naga, semuanya menggunakan sistem organik mulai dari proses penanaman,
pengolahan hingga menjadi nasi. Dalam mempertahankan kualitas padi dan
menghindari hama, mereka menggunakan sistem pertanian janli, yaitu menanam padi
hanya di bulan Januari dan Juli. Hama tidak dibasmi tetapi dibiarkan, karena
mereka percaya bahwa semua makhluk hidup tidak ada yang merugikan dan juga
untuk menjaga keseimbangan alam. Ada pepatah mengatakan jika ingin dipikawelas asih (dikasihi) kita juga
harus mikawelas asih (mengasihi).
Sama halnya terhadap hama.
Masyarakat Naga percaya jika padi itu Dewi Sri, seorang
wanita, maka harus diperlakukan sebagai seorang wanita. Ada seorang canoli yang akan memimpim upacara
penanaman padi. Dimulai dari sebelum tandur, diiringi oleh karinding sampai
padi menguning, dengan maksud supaya tidak terganggu hama. Kemudian saat mulai
menanam diiringi oleh suanten bancet
karena padi harus terkena air. Bancet
(katak) mengeluarkan bunyi di air. Yang terakhir, dilakukan suanten tongeret ketika panen, saat
panas. Yang lebih menarik lagi saat padi reuneuh
(hamil), padi disuguhan oleh rujak
yang asam. Seperti halnya saat wanita sedang hamil senang makan rujak. Ada juga
saat padi mulai menguning dilakukan upacara nyarian
(memberi sari), dengan maksud supaya padi menjadi ada rasanya.
Bangunan
Rumah di Kampung Naga |
Dari kejauhan, kita bisa melihat bentuk rumah di Kampung
Naga yang terlihat sama. Setelah diperhatikan ternyata bangunan yang berjumlah
113 itu memang hampir sama, hanya ukurannya saja yang bisa terlihat beda dan
semuanya berbentuk rumah panggung. Bahan yang digunakan semuanya dari alam,
sesuai filosofinya ‘hidup bersama alam’. Posisi rumahnya menghadap utara dan
selatan, sehingga rumah menjadi saling berhadapan dan saling membelakangi.
Sesuai dengan filosofinya pola hidup sederhana, gotong royong, saling tolong
menolong dan hidup bersama alam, maka pintu dibuat menghadap pintu, sehingga
sosialisasinya pun lebih baik.
Struktur bangunan di Kampung Naga sama dengan struktur
bangunan Sunda, diibaratkan seperti struktur manusia. Ada kaki, badan dan kepalanya.
Kakinya adalah fondasinya, batu tatapakan, yang fungsinya sama seperti
kuda-kuda dalam silat atau shockbreaker
pada mobil, sehingga saat terjadi gempa, bagian atas mengikuti goyangan
kakinya. Tidak seperti tembok yang cenderung kaku. Bagian badannya adalah
ruangannya yang terbuat dari kayu. Untuk kepalanya adalah atapnya yang
menggunakan ijuk dilapisi tepus. Dengan menggunakan atap dari ijuk dapat
membuat siang hari yang panas terasa adem, dan saat malam terasa hangat.
Posisi rumah yang saling berhadapan |
Saat memasuki rumah di Kampung Naga, dalamnya sama seperti
umumnya rumah Sunda, aktifitas semuanya dilakukan di ruang depan, tempat
beristirahat dan dapur di belakang. Sementara itu ruangan –ruangan lain menjadi
opsional karena adanya sekat (pembatas). Tidak adanya kursi di semua rumah
menjadi daya tarik tersendiri. Ini terjadi karena masyarakat Naga memegang
teguh pada filosofi ‘duduk sama rendah, berdiri sama tinggi’ dan bahwa semua manusia
sama kodratnya di hadapan Tuhan. Posisi duduk pun ada pantangannya, dimana kaki
tidak boleh selonjoran ke arah kiblat. Penggunaan tenaga matahari dan baterai
dapat menggantikan listrik, sehingga masyarakat Naga masih bisa menonton TV dan
aktifitas lainnya yang umumnya menggunakan listrik. Dan pada malam hari,
masyarakat Naga menggunakan petromax untuk penerangannya.
Kesenian
Penduduk memainkan alat musik tradisional |
Saat berjalan-jalan di dalam area Kampung Naga, kita bertemu
dengan warga Naga yang sedang bermain musik. Mereka memainkan karinding,
celempung dan suling. Masyarakat Naga membuat ketiga alat musik tersebut sendiri.
Dari ketiga alat musik tersebut, karinding adalah yang paling khas. Alat musik
kayu dengan 3 nada yang dimainkan dengan cara dipukul 7 kali (sesuai jumlah
hari dalam seminggu). Musik karinding ini dipercaya sudah ada sejak 500 tahun
lalu yang biasa dimainkan untuk upacara panen.
Sementara itu, kesenian yang ada di Kampung Naga hanya tiga,
yaitu terbang gentung, terbang sajak dan angklung. Terbang gentung berbeda
dengan dua kesenian lainnya yang bisa dipentaskan kapan saja. Terbang gentung
hanya dipentaskan saat shalawat nabi saja.
How to get there:
Jalur Garut - Dari Terminal Lebak Bulus Jakarta naik bus
Primajasa menuju terminal Garut, ongkos Rp. 35.000,-. Kemudian dari terminal
Garut naik elf atau bis kecil menuju Kampung Naga, ongkos berkisar antara
Rp.7.500.- Rp.15.000 -
Jalur Tasik - dari terminal Lebak Bulus Jakarta naik bus
Primajasa menuju terminal Tasik, ongkos Rp. 40.000,- kemudian dari terminal
Tasik naik elf atau bis kecil menuju Kampung Naga, ongkos berkisar antara Rp.10.000,- Rp. 20.000,-
Ruang tengah rumah |
Dapur |
Anak-anak bersantai di kolam |
Bermain di lapangan |
Teks &
Foto: Riman Saputra N
Tidak ada komentar:
Posting Komentar